Menu
Cepat Tepat Terpercaya

Mubazir ASN Komcad, Cuma Jadi Beban TNI

  • Share

Jakarta, jurnalredaksi– Langkah pemerintah mendorong aparatur sipil negara (ASN) menjadi Komponen Cadangan (Komcad) dianggap tak relevan. Rencana ini dinilai mubazir dan bakal membebani tentara profesional.

Program tersebut tertuang dalam Surat Edaran (SE) Menteri PAN-RB Tjahjo Kumolo tentang Peran Serta Pegawai ASN sebagai Komponen Cadangan dalam Mendukung Upaya Pertahanan Negara. “SE ini diperuntukkan bagi pegawai ASN agar ikut serta dalam pelatihan komponen cadangan dalam rangka mendukung upaya pertahanan negara,” kata Tjahjo.

banner 336x280

Direktur Eksekutif Lembaga Studi Pertahanan dan Studi Strategis Indonesia (Lesperssi), Rizal Darmaputra mengatakan pemerintah tak bisa sembarangan merekrut anggota komponen cadangan. Rizal menjelaskan Rancangan Undang-Undang (RUU) yang menjadi dasar hukum Komcad dibahas pada era Menteri Pertahanan Ryamizard Ryacudu. RUU itu digodok dengan semangat menutupi kebutuhan militer dengan melapis kekuatan dari anggota komponen utama, yakni prajurit TNI reguler.

Karena itu, pemerintah hanya akan merekrut masyarakat dengan profesi atau keahlian khusus, seperti dokter, tenaga medis, pilot, insinyur, dan lainnya. Mereka direkrut, dilatih, dan dimobilisasi melalui pendidikan militer, serta terikat dalam masa dinas waktu tertentu. “Jadi enggak sembarangan siapa saja anggota masyarakat nih yang direkrut. Enggak bisa sembarang orang,” kata Rizal.

Semangat rekrutmen Komcad, kata Rizal, tidak dilakukan secara masif atau tanpa pilih-pilih seperti sekarang. Menurutnya, pelaksanaan rekrutmen Komcad itu berbeda dengan semangat pembentukan RUU itu pada masa Ryamizard. Rekrutmen anggota Komcad ala Prabowo dinilai mubazir dan tidak relevan. Menurutnya, kekuatan tentara reguler sudah cukup banyak dan terlatih.

“Jadi Komcad yang sekarang ini menurut saya lebih banyak mubazirnya, apalagi buka sampai merekrut ASN secara umum. Menurut saya enggak relevan,” ujar Rizal.

Rizal mengatakan alokasi anggaran dengan jumlah mencapai angka Rp1,37 triliun dalam setahun untuk program Komcad mubazir. Menurutnya, pilar utama peperangan saat ini adalah teknologi dan profesionalisme tentara yang tidak bisa dibentuk dalam waktu singkat. Karenanya, ia menyayangkan anggaran itu digunakan untuk merekrut Komcad secara masif, alih-alih mengembangkan teknologi militer.

“Jadi dananya itu kemudian di-pending untuk merekrut tentara lapis kedua ini, ya sayang karena tidak bisa membentuk suatu prajurit yang profesional, yang handal dalam tempo yang singkat,” tuturnya.

Menurutnya, anggaran tersebut lebih baik dialokasikan untuk peremajaan alat utama sistem pertahanan negara (Alutsista), kesejahteraan, kesehatan, dan peningkatan pendidikan prajurit.

“Prajurit kan masih jauh dari sejahtera,” ujar Rizal.

Lebih lanjut, Rizal menilai anggota Komcad yang direkrut secara masif seperti saat ini bakal membebani tentara profesional saat mereka bertugas dalam medan pertempuran. Rizal menduga Komcad akan menjadi beban saat mereka bekerja dengan anggota dari satuan Kodam atau Kostrad dalam misi melawan invasi asing maupun menginvasi negara lain.

“Ditugaskan bersama-sama dengan tentara yang profesional untuk melakukan pertempuran itu menurut saya membebani tentara profesional karena skill-nya berbeda,” kata Rizal.

Menurutnya, kemampuan tempur anggota Komcad yang hanya dilatih selama tiga bulan berbeda dengan tentara profesional. Tentara profesional telah menjalani pelatihan dalam waktu yang lama. Pelatihan pelatihan dasar militer tentara infanteri misalnya, tak bisa dicicil hanya dalam waktu tiga bulan.

Latihan itu meliputi, pengintaian, penghilangan jejak, surveillance, counter surveillance, combat intelligence, dan lainnya. Setelah dilatih, tentara profesional kemudian mempraktekkan ilmu mereka, dilatih kembali, dan mempraktekkan.

“Dicicil dalam tiga bulan nggak bisa. Infanteri basic training itu juga kan macam-macam,” kata Rizal.

Karena itu, Rizal mempertanyakan pelatihan tiga bulan anggota Komcad. Sementara, setelah dilatih mereka kembali ke kehidupan normal. Hal ini akan berbeda jika anggota Komcad yang direkrut memiliki keahlian khusus seperti pilot, dokter, dan insinyur.

“Ya buat apa tiga bulan dilatih mereka kembali ke kehidupan normal? Kalau misalnya yang direkrut dokter, pilot mereka cukup dikasih military basic training lagi,” ujarnya.

Sementara itu, pengamat militer dan peneliti Imparsial, Hussein Ahmad menyebut keputusan Tjahjo mendorong ASN menjadi Komcad bisa menjerumuskan mereka menjadi korban pelanggaran hak asasi manusia (HAM).

Hussein mengatakan saat ini Undang-undang (UU) Nomor 23 Tahun 2019 tentang Pengelolaan Sumber Daya Nasional Untuk Pertahanan Negara (PSDN) yang menjadi dasar hukum Komcad sedang digugat ke Mahkamah Konstitusi (MK).

Salah satu materi yang digugat adalah tidak adanya pasal mengenai conscientious objection atau penolakan berdasarkan hati nurani.

“Jadi semua PNS-PNS yang nanti jadi Komcad itu terancam hak asasi manusianya karena mereka tidak bisa menolak panggilan mobilisasi,” kata Hussein saat dihubungi pada Rabu (29/12) malam.

Selain itu, perekrutan ASN menjadi Komcad juga akan membuat status orang tersebut menjadi tidak jelas. ASN merupakan warga sipil namun saat menjadi Komcad dia menyandang status militer.

Hussein menduga program Komcad merupakan agenda militerisasi sipil. Warga sipil diminta untuk mengurus kerja-kerja militer. Padahal, dalam negara demokrasi terdapat pemisahan warga sipil dan militer.

Bahkan HAM mengenal konsep ‘jarak humaniter’, di mana tindakan terhadap warga sipil dan militer memiliki konsekuensi berbeda. Saat menembak tentara dalam perang misalnya, tidak akan menjadi pelanggaran HAM.

“Menjadi pelanggaran HAM kalau menembak sipil. Kalau misal Komcad ini ditembak, bagaimana itu? Dia sipil iya tapi dia angkat senjata, itu jadi satu problem,” terang Hussein.

Hussein kemudian mengkritik pemerintah yang memandang bela negara atau pertahanan negara hanya dalam bentuk angkat senjata. Menurutnya, pemerintah seolah-olah menganggap anggota Komcad lebih melakukan bela negara daripada lainnya.

Padahal, kata Hussein, ASN yang melayani masyarakat, aktivis NGO, dan pekerja media juga melakukan bela negara.

“Jadi bela negara tidak boleh dipandang semata-mata angkat senjata. Kalau begitu bermasalah cara kita bernegara,” ujarnya.

Hussein lantas mengingatkan Tjahjo menghormati persidangan gugatan UU PSDN di Mahkamah Konstitusi (MK). Menurutnya, politikus PDIP itu terburu-buru menerbitkan edaran. Semestinya, kata Hussein, Tjahjo mempertimbangkan kemungkinan pasal-pasal dalam UU PSDN diubah.

Selain itu, UU PSDN juga termasuk dalam daftar program legislasi nasional (Prolegnas) yang akan direvisi pada 2022.

“Pemerintah sendiri yang akan merevisi undang-undangnya, masa dia (Tjahjo) enggak tahu, masa dia enggak update,” kata Hussein.

Hussein menyarankan agar Tjahjo mencabut surat edaran itu demi kehormatan pemerintah. Menurutnya, waktu penerbitan edaran itu tidak tepat.

Ia juga meminta perekrutan Komcad dari masyarakat umum juga dihentikan, menunggu hasil revisi UU PSDN di DPR dan hasil sidang MK.

“Kalau menurut saya harus dicabut dulu, moratorium dulu lah, Komcad baik untuk PNS maupun sipil yang lain itu disetop dulu. Itu yang paling terhormat, itu yang paling elegan yang bisa dilakukan pemerintah saat ini,” ujarnya.

(CA/AA)

  • Share

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *