JAKARTA — Pemerintah Indonesia di bawah kepemimpinan Presiden Prabowo Subianto menyatakan kesiapan menghadapi ketidakpastian ekonomi global akibat kebijakan tarif tinggi Presiden Amerika Serikat Donald Trump.
Pasalnya, akibat kebijakan tarif tinggi Trump tersebut menyebabkan tekanan pada perekonomian global hingga termasuk nilai tukar Rupiah dan pelemahan Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG).
Meski Amerika Serikat merupakan mitra dagang besar, Indonesia nyatanya tetap memiliki banyak alternatif lain untuk mendiversifikasi tujuan ekspor.
Menteri Keuangan Sri Mulyani menegaskan bahwa perekonomian nasional tidak terlalu bergantung pada Amerika Serikat.
“Dilihat dari sisi neraca perdagangan, AS adalah yang terbesar kedua. Tapi dibandingkan dengan mitra paling besar, yaitu China, AS tidak jauh berbeda dengan destinasi ekspor lainnya,” ujar Sri Mulyani.
Menkeu menekankan bahwa potensi diversifikasi masih sangat terbuka lebar.
“Dependensi kita terhadap AS tidak terlalu besar dibandingkan [sejumlah] negara-negara lain,” sambung Sri Mulyani.
Menurut Menteri Keuangan, tekanan dari kebijakan tarif AS justru mendorong munculnya inisiatif global menuju sistem “perdagangan tanpa Amerika”.
Menko Perekonomian Airlangga Hartarto mengungkapkan bahwa pemerintah Indonesia tengah memperkuat diplomasi ekonomi melalui revitalisasi perjanjian TIFA (Trade & Investment Framework Agreement) yang ditandatangani sejak 1996.
Selain itu, keikutsertaan Indonesia dalam New Development Bank (NDB) milik negara-negara BRICS membuka peluang kemitraan strategis baru.
“Indonesia sendiri akan mendorong beberapa kesepakatan dan dengan beberapa negara ASEAN,” kata Menko Perekonomian tersebut.
“Menteri perdagangan juga berkomunikasi selain dengan Malaysia juga dengan Singapura, dengan Kamboja dan yang lain untuk mengkalibrasi sikap bersama ASEAN,” jelas Airlangga.
Airlangga menambahkan, pemerintah tengah menyiapkan proposal deregulasi Non-Tariff Measures (NTMs), termasuk relaksasi TKDN di sektor TIK serta evaluasi pelarangan dan pembatasan barang ekspor-impor AS.
Strategi lain mencakup peningkatan impor dan investasi dari AS melalui pembelian migas, serta pemberian insentif fiskal seperti pengurangan bea masuk dan pajak impor.
Data Kementerian Perdagangan menunjukkan bahwa Indonesia mencatat surplus perdagangan dengan AS sebesar US$14,34 miliar pada 2024, didorong ekspor mesin, pakaian, dan alas kaki.
Presiden Prabowo Subianto menilai kondisi tersebut sebagai peluang untuk mempercepat kemandirian ekonomi nasional.
“Sebetulnya Presiden Trump mungkin membantu kita. Dia memaksa kita, supaya kita ramping, efisien, tidak manja. Ini kesempatan,” ujar Prabowo. (*)