Jakarta – Pemerintah Republik Indonesia mempersiapkan langkah strategis dalam menghadapi tantangan ketenagakerjaan nasional dengan merancang pembentukan Satuan Tugas Pemutusan Hubungan Kerja (Satgas PHK). Gagasan ini mendapatkan dukungan luas, tidak hanya dari kalangan pejabat negara, tetapi juga dari para pakar ekonomi serta kelompok buruh yang menjadi ujung tombak produktivitas bangsa.
Menteri Ketenagakerjaan (Menaker), Yassierli, menjelaskan bahwa pemerintah saat ini masih memfinalisasi draft pembentukan Satgas PHK. Menurutnya, satuan tugas ini tidak hanya akan fokus pada penanganan kasus PHK, namun juga akan bertugas melakukan monitoring penciptaan lapangan kerja dan menyikapi isu-isu strategis ketenagakerjaan lainnya.
“Satgas PHK ini diharapkan menjadi instrumen konkret untuk menavigasi dinamika ketenagakerjaan nasional, apalagi di tengah tekanan ekonomi global yang tidak menentu,” ujar Yassierli.
Langkah ini mendapat respons positif dari kalangan akademisi. Pakar ekonomi dari Universitas Airlangga (UNAIR), Prof. Rossanto Dwi Handoyo, SE, MSi, PhD, menegaskan bahwa PHK harus menjadi jalan terakhir yang diambil dalam kondisi krisis.
“PHK itu biaya ekonomi, sosial, dan politiknya sangat besar. Banyaknya pengangguran dapat memicu permasalahan sosial lain seperti kriminalitas. Oleh karena itu, Satgas PHK menjadi penting sebagai upaya preventif,” jelas Prof. Rossanto.
Ia juga menambahkan bahwa pemerintah harus lebih aktif mendengar keluhan dari kalangan eksportir dan pelaku industri agar kebijakan ketenagakerjaan menjadi lebih adaptif dan solutif.
Tak kalah penting, dukungan kuat juga datang dari serikat buruh. Ketua Umum Konfederasi Serikat Buruh Sejahtera Indonesia (KSBSI), Johannes Dartha Pakpahan, menegaskan bahwa pembentukan Satgas PHK merupakan usulan konkret dari kalangan buruh dalam merespons ancaman PHK massal di sektor industri, khususnya di Pulau Jawa.
“Satgas PHK ini bukan hanya reaktif, tapi juga proaktif dalam mengantisipasi, menyelidiki, dan menangani potensi maupun dampak dari PHK. Ini adalah strategi untuk melindungi hak dan masa depan pekerja,” tegas Johannes.
Ia memperkirakan bahwa setidaknya ada sekitar 50 ribu pekerja yang terancam terkena PHK dalam waktu dekat jika tidak ada langkah nyata dari pemerintah.
“Angka ini kemungkinan akan terus meningkat jika praktik penetapan tarif global yang ekstrem tidak segera dihentikan,” lanjutnya.
Dengan dukungan lintas sektor, pembentukan Satgas PHK menjadi harapan baru bagi kestabilan dunia kerja di Indonesia dan bentuk nyata keberpihakan negara pada nasib para pekerja.
**
[edRW]