Oleh: Ahmad Baihaqi )*
Pemerintah tengah menunjukkan sikap tegas terhadap maraknya praktik judi daring yang kian meresahkan masyarakat. Tidak hanya dari sisi hukum, pemerintah juga mulai mengambil pendekatan sosial yang lebih konkret: mencabut bantuan sosial (bansos) bagi mereka yang menyalahgunakannya untuk kegiatan yang tidak bermanfaat, termasuk untuk berjudi secara daring.
Langkah tegas ini disampaikan oleh Menteri Sosial Saifullah Yusuf (Gus Ipul) bahwa bansos, baik dalam bentuk Program Keluarga Harapan (PKH) maupun Bantuan Pangan Non-Tunai (BPNT), tidak boleh digunakan untuk keperluan yang tidak sesuai dengan tujuan utamanya, seperti membeli pulsa atau bahkan untuk judi daring. Menurutnya, bantuan pemerintah seharusnya digunakan untuk kebutuhan esensial keluarga, terutama yang berkaitan dengan gizi ibu hamil, bayi, lansia, dan biaya pendidikan anak-anak.
Pernyataan Gus Ipul mengandung pesan moral yang kuat: negara hadir untuk membantu, bukan untuk dimanfaatkan secara salah kaprah. Ia bahkan menekankan bahwa jika terbukti penerima bantuan menyalahgunakan dana tersebut untuk hal-hal semacam judi daring, bansos tersebut akan dicabut. Pemerintah memiliki mekanisme pengawasan melalui para pendamping PKH yang bertugas memantau penggunaan dana oleh keluarga penerima manfaat.
Keberanian pemerintah mengambil sikap seperti ini perlu diapresiasi dan didukung oleh seluruh elemen masyarakat. Judi daring, dalam segala bentuknya, bukan hanya merusak sendi ekonomi keluarga, tetapi juga melemahkan karakter dan semangat kerja masyarakat. Dalam banyak kasus, pelaku judi daring kerap terjerat utang, kehilangan pekerjaan, bahkan menciptakan konflik dalam rumah tangga.
Masyarakat perlu disadarkan bahwa bansos bukanlah “uang gratis” yang bisa dipakai sesuka hati. Itu adalah wujud tanggung jawab negara dalam membantu warganya yang berada dalam kondisi miskin atau miskin ekstrem. Namun bantuan itu datang bersama dengan harapan agar masyarakat yang menerimanya bisa berproses menjadi keluarga yang mandiri. Istilah yang digunakan Gus Ipul untuk menggambarkan hal ini adalah “graduasi”, yakni ketika penerima bansos mampu keluar dari ketergantungan bantuan dan menjadi keluarga yang berdaya secara ekonomi dan sosial.
Ketegasan ini menjadi bagian dari narasi besar bahwa pemerintah tidak sekadar memberikan bantuan, tetapi juga membentuk kultur disiplin dan tanggung jawab di kalangan warga negara. Apalagi dalam era digital seperti sekarang, godaan terhadap judi daring sangat besar. Dengan akses internet yang luas dan iklan yang masif, masyarakat rentan terjerumus dalam praktik ini jika tidak dibarengi dengan literasi digital dan kesadaran hukum yang memadai.
Sikap Mensos ini sekaligus menjadi contoh bagaimana kementerian teknis bisa ikut serta dalam memerangi judi daring, tidak hanya menyerahkannya kepada aparat penegak hukum. Gus Ipul menyatakan bahwa evaluasi terhadap penerima bansos akan diperketat. Data akan diolah menggunakan Data Tunggal Sosial Ekonomi Nasional (DTSEN) yang lebih akurat dan valid. Dengan ini, pemerintah berharap hanya mereka yang benar-benar berhaklah yang akan menerima bantuan, sementara yang menyalahgunakan atau tidak memenuhi syarat akan dikeluarkan dari daftar.
Kebijakan ini juga memberi efek jera, bahwa negara tidak tinggal diam menghadapi perilaku menyimpang yang merugikan masyarakat luas. Judi daring bukan hanya persoalan individu, tetapi juga persoalan sistemik yang berpotensi merusak ketahanan sosial. Dalam jangka panjang, membiarkan praktik ini tumbuh akan menciptakan generasi yang malas bekerja, tidak produktif, dan bergantung pada keberuntungan semu.
Pendekatan ini tentunya harus dibarengi dengan edukasi dan sosialisasi yang masif. Pemerintah daerah dan para pendamping sosial perlu diberi pelatihan untuk memberikan pemahaman kepada keluarga penerima manfaat bahwa bansos bukanlah uang untuk konsumsi hiburan, apalagi untuk berjudi. Perlu ada penguatan nilai-nilai keluarga, budaya kerja keras, dan pengelolaan keuangan yang bijak di tengah masyarakat penerima bantuan.
Yang tidak kalah penting, sistem pelaporan juga harus dibuat mudah dan aman, agar masyarakat bisa melaporkan jika ada tetangga atau pihak yang menyalahgunakan bansos. Transparansi dan keterlibatan publik akan memperkuat sistem pengawasan yang telah dibangun.
Upaya ini tidak akan berhasil jika tidak mendapat dukungan dari semua pihak. Masyarakat harus memahami bahwa judi daring adalah penyakit sosial yang harus diperangi bersama. Lembaga pendidikan, organisasi masyarakat, tokoh agama, dan media harus menjadi garda terdepan dalam mengampanyekan bahaya judi daring dan pentingnya menggunakan bantuan sosial dengan benar.
Langkah Gus Ipul mencabut bansos bagi pelaku judi daring juga menjadi sinyal kuat bagi kementerian lain untuk bertindak serupa. Kementerian Kominfo, misalnya, harus terus mengintensifkan pemblokiran situs-situs judi daring yang setiap harinya tumbuh bak jamur di musim hujan. Demikian pula aparat hukum harus menindak tegas penyelenggara judi daring yang kerap menyasar masyarakat miskin dengan iming-iming hadiah besar.
Dengan langkah terintegrasi antar-lembaga dan partisipasi masyarakat, pemerintah optimis bisa menekan laju judi daring yang mengancam masa depan bangsa. Ketegasan dalam kebijakan bansos ini hanyalah satu bagian dari upaya besar membangun bangsa yang sehat secara moral, berdaya secara ekonomi, dan kuat secara sosial.
Sudah saatnya kita mengakhiri toleransi terhadap praktik-praktik merusak seperti judi daring. Karena jika tidak sekarang, kapan lagi? Jika bukan pemerintah yang bertindak, siapa lagi yang akan melindungi rakyat dari jeratan kemiskinan yang diakibatkan oleh gaya hidup yang salah arah?
Dengan langkah tegas ini, pemerintah mengirim pesan jelas: bantuan sosial adalah hak yang harus disertai tanggung jawab. Dan judi daring bukan hanya dilarang, tapi juga akan diberi sanksi setimpal, mulai dari pemutusan bantuan hingga sanksi hukum yang lebih berat. Semoga ini menjadi awal dari perubahan besar yang lebih bermartabat.
)* Pengamat Kebijakan Sosial – Lembaga Sosial Madani Institute