Oleh: Adnan Ramdani )*
Di tengah dinamika ekonomi global yang tak menentu seperti saat ini, kehadiran Satuan Tugas Pemutusan Hubungan Kerja (Satgas PHK) merupakan langkah nyata pemerintah dalam menjaga stabilitas perekonomian dan ketenagakerjaan nasional. Satgas ini tidak hanya menjadi simbol kehadiran negara dalam melindungi hak-hak pekerja, tetapi juga mencerminkan komitmen pemerintah untuk menciptakan iklim kerja yang kondusif dan berkelanjutan bagi seluruh pihak, baik pekerja maupun pengusaha.
Presiden Prabowo Subianto mengatakan pembentukan satgas ini sebagai respons terhadap ancaman PHK besar-besaran akibat tekanan ekonomi global, termasuk imbas kebijakan tarif resiprokal Amerika Serikat (AS). Dalam menghadapi situasi ini, Satgas PHK dibentuk untuk melakukan mitigasi risiko PHK massal, menjaga stabilitas ketenagakerjaan, serta memberikan perlindungan kepada pekerja dan pelaku industri yang terdampak.
PHK merupakan salah satu isu sensitif yang dapat berdampak luas, bukan hanya pada individu yang kehilangan pekerjaan, tetapi juga terhadap perekonomian secara keseluruhan. Ketika gelombang PHK terjadi secara masif, daya beli masyarakat menurun, tingkat pengangguran meningkat, dan stabilitas sosial bisa terganggu. Oleh karena itu, pembentukan Satgas PHK menjadi langkah antisipatif yang strategis dalam mencegah terjadinya “badai PHK” yang berpotensi menimbulkan krisis ketenagakerjaan.
Selain itu, Satgas PHK dibentuk untuk menjadi jembatan komunikasi antara pekerja, pengusaha, dan pemerintah. Dalam banyak kasus, ketegangan antara buruh dan manajemen terjadi karena kurangnya komunikasi atau ketidaksesuaian persepsi terhadap kondisi usaha. Di sinilah peran Satgas menjadi sangat penting melakukan mediasi, klarifikasi, dan pengawasan agar setiap proses PHK dapat dilakukan secara adil, transparan, dan sesuai aturan yang berlaku. Hal ini menjadi bentuk nyata dari perlindungan terhadap pekerja agar tidak menjadi korban keputusan sepihak.
Selain itu, Satgas PHK juga memiliki fungsi strategis dalam memantau kondisi industri dan sektor-sektor usaha yang berpotensi mengalami tekanan. Dengan sistem pemantauan yang berbasis data dan analisis tren, Satgas dapat memberikan peringatan dini (early warning system) kepada pemerintah untuk mengambil langkah preventif. Misalnya, ketika ada indikasi penurunan produksi di sektor tekstil atau penurunan ekspor pada industri manufaktur, Satgas dapat memberikan masukan agar kebijakan stimulus, insentif, atau pelatihan ulang (reskilling) segera diberikan untuk mempertahankan tenaga kerja.
Lebih dari sekadar respons terhadap ancaman PHK, Satgas juga membuka ruang dialog yang konstruktif antar-stakeholder. Pemerintah, melalui kementerian terkait, dapat menggunakan temuan dari Satgas sebagai dasar untuk merumuskan kebijakan ketenagakerjaan yang lebih adaptif terhadap perubahan zaman. Ini termasuk peningkatan kualitas SDM melalui pelatihan vokasi, mendorong transformasi digital di sektor industri, serta memperkuat perlindungan sosial bagi pekerja rentan. Dengan begitu, keberadaan Satgas bukan hanya solusi jangka pendek, tetapi bagian dari strategi jangka panjang untuk membangun sistem ketenagakerjaan yang tangguh.
Dari sisi pengusaha, Satgas juga memberi manfaat. Tidak semua pengusaha ingin melakukan PHK, sebagian besar dari mereka justru ingin mempertahankan karyawan namun menghadapi tekanan biaya operasional dan penurunan permintaan pasar. Dalam hal ini, Satgas dapat menjadi fasilitator dalam mencari solusi bersama misalnya dengan opsi pengurangan jam kerja sementara, program cuti bergilir, atau dukungan dari program pemerintah seperti subsidi upah. Dengan pendekatan ini, PHK bisa dihindari, dan hubungan industrial tetap harmonis.
Sementara itu, Ketua Umum Konfederasi Serikat Buruh Sejahtera Indonesia (KSBSI), Johannes Dartha Pakpahan, mengatakan pihaknya sangat mendukung pembentukan Satgas PHK. Hal ini untuk merespons ancaman PHK besar-besaran yang mengkhawatirkan sektor industri di Indonesia, khususnya di Pulau Jawa, yang setidaknya sekitar 50 ribu pekerja. Satgas PHK juga dinilai menjadi upaya untuk mempertahankan jaminan pekerjaan, sesuai dengan semangat perlindungan pekerja yang digaungkan dalam prinsip-prinsip internasional.
Kehadiran Satgas PHK juga menunjukkan bahwa pemerintah tidak tinggal diam menghadapi gejolak ekonomi global. Ini menjadi bentuk nyata bahwa negara hadir di tengah rakyatnya, melindungi mereka dari dampak buruk ketidakpastian ekonomi. Di tengah era digitalisasi dan disrupsi teknologi, perlindungan terhadap tenaga kerja tidak hanya harus berbentuk regulasi, tetapi juga dalam bentuk kehadiran aktif dan responsif, seperti yang ditunjukkan oleh Satgas ini.
Sebagai negara dengan jumlah angkatan kerja yang besar, Indonesia membutuhkan sistem pengamanan ketenagakerjaan yang solid. Satgas PHK adalah bagian dari sistem itu sebuah instrumen yang menjembatani, memantau, dan menyelesaikan permasalahan sebelum menjadi krisis. Ke depan, dengan memperkuat koordinasi lintas kementerian, melibatkan serikat pekerja dan asosiasi pengusaha, serta membangun basis data ketenagakerjaan yang andal, Satgas PHK bisa menjadi garda terdepan dalam menjaga keseimbangan dunia kerja nasional.
Kita patut mengapresiasi langkah proaktif ini. Pemerintah tidak hanya bereaksi terhadap gejala, tetapi mulai membangun sistem ketahanan yang mampu meredam guncangan. Satgas PHK hadir bukan sebagai alat untuk menghambat dinamika bisnis, melainkan sebagai mitra strategis dalam menjaga keberlangsungan usaha sekaligus menjamin kesejahteraan tenaga kerja. Dengan demikian, upaya pencegahan badai PHK bukan lagi angan-angan, melainkan kenyataan yang tengah dibangun bersama demi masa depan ketenagakerjaan Indonesia yang lebih inklusif dan berkeadilan.
)* Penulis adalah seorang pemerhati ekonomi kerakyatan