Oleh: Saiful Bahri *)
Pemerintah tengah melakukan evaluasi menyeluruh terhadap mekanisme pembayaran dalam Program Makan Bergizi Gratis (MBG), sebagai bentuk tanggung jawab terhadap optimalisasi pelaksanaan program prioritas nasional tersebut. Sejak diluncurkan pada 2025, MBG telah menunjukkan komitmen kuat negara untuk memperbaiki kualitas gizi generasi muda, terutama di daerah tertinggal. Besarnya anggaran yang dialokasikan, yang semula Rp71 triliun dan meningkat signifikan menjadi Rp171 triliun, menunjukkan keseriusan pemerintah dalam menjadikan program ini bukan sekadar proyek jangka pendek, melainkan investasi strategis bagi masa depan bangsa.
Anggota Komisi IX DPR RI Obon Tabroni menyampaikan program makan bergizi gratis (MBG) yang telah digulirkan bisa menjadi langkah strategis pemerintah dalam meningkatkan kualitas sumber daya manusia (SDM) menuju Indonesia Emas 2045. Namun dalam pelaksanaan teknis di lapangan, muncul sejumlah tantangan yang menjadi dasar perlunya pembenahan. Salah satunya terkait ketidaksesuaian skema kerja sama yang digunakan dalam operasional dapur MBG, seperti yang terjadi di Kalibata, Jakarta Selatan. Pemerintah melalui Badan Gizi Nasional (BGN) pada dasarnya merancang sistem yang transparan dan efisien, di mana penyediaan makanan dilakukan melalui dapur yang dibangun oleh pihak ketiga dan disewa langsung oleh negara. Sayangnya, pola ini mengalami deviasi ketika sebuah yayasan ditunjuk sebagai mitra operasional, yang kemudian justru bekerja sama lagi dengan pihak ketiga di luar struktur formal. Situasi inilah yang memicu komplikasi, termasuk keterlambatan pembayaran kepada mitra dapur.
Permasalahan pembayaran sebesar Rp975 juta kepada salah satu mitra yang telah menyuplai lebih dari 60 ribu porsi makanan menjadi perhatian serius. BGN sendiri menyatakan bahwa keterlambatan itu bersumber dari hubungan internal antara yayasan dan mitranya, yang sebelumnya tidak diketahui secara rinci oleh lembaga. Hal ini menjadi pelajaran penting bahwa setiap bentuk kerja sama dalam kerangka program nasional harus didesain dengan pengawasan yang melekat dan mekanisme kontrol yang kuat. Pemerintah dalam hal ini tidak lepas tangan, justru menjadikan kasus Kalibata sebagai bahan evaluasi untuk memperkuat desain kebijakan ke depan.
Dorongan dari lembaga legislatif juga menjadi landasan kuat bagi pemerintah untuk mengambil langkah korektif. Wakil Ketua Komisi IX DPR RI, Yahya Zaini, misalnya, menilai bahwa skema kerja sama seperti yang dilakukan dengan Yayasan MBN bukanlah bagian dari rencana awal dan masih dalam tahap uji coba. Dalam konteks ini, pengawasan perlu diperketat agar tidak terjadi penyimpangan penggunaan anggaran, apalagi jika itu menyangkut dana negara yang seharusnya langsung memberi manfaat pada masyarakat. Pernyataan tersebut menjadi penegasan bahwa fungsi pengawasan tetap berjalan, namun semangatnya bukan untuk menyalahkan, melainkan memperbaiki.
Lebih jauh, pemerintah tidak tinggal diam. Penyempurnaan sistem pembayaran melalui mekanisme e-catalog terus diupayakan, meskipun dalam implementasinya masih dihadapkan pada tantangan infrastruktur, terutama di wilayah terpencil. Namun, komitmen untuk menuntaskan persoalan-persoalan teknis ini tetap kuat. Pemerintah daerah juga dilibatkan secara aktif dalam memperkuat koordinasi distribusi, guna menghindari ketimpangan antara daerah kota dan pedesaan. Pelibatan koperasi dan BUMDes sebagai mitra pengadaan bahan pangan menunjukkan bahwa pemerintah tetap berpihak kepada pelaku usaha lokal sembari menggerakkan roda ekonomi desa.
Kasus Kalibata memang memperlihatkan adanya celah yang harus segera ditutup, namun tidak berarti menggoyahkan fondasi program MBG secara keseluruhan. Sebaliknya, ini menjadi momentum penting bagi negara untuk menegaskan bahwa transparansi, akuntabilitas, dan efisiensi adalah prinsip yang tidak bisa ditawar. Dalam waktu bersamaan, evaluasi ini diarahkan agar sistem pelaporan bisa diakses publik secara terbuka, dengan membangun platform digital real-time sebagai alat pemantau distribusi dan penggunaan dana.
Langkah-langkah korektif pun menyasar pada sisi kelembagaan. Pemerintah didorong untuk mempercepat proses rekrutmen tenaga pengelola di tingkat Satuan Pelayanan Pemenuhan Gizi (SPPG), agar kapasitas sumber daya manusia mencukupi dalam mendukung operasional yang semakin luas. Tanpa SDM yang memadai, bahkan skema paling baik pun bisa tersendat di tataran eksekusi. Oleh karena itu, pemerintah menempatkan pembenahan SDM dan regulasi sebagai dua pilar penting dalam evaluasi ini.
Dukungan dari kalangan akademisi dan mahasiswa menjadi cerminan bahwa MBG telah menyentuh kepedulian kolektif masyarakat terhadap masa depan anak-anak Indonesia. Aspirasi dari organisasi seperti Himpunan Mahasiswa Islam Banjarbaru yang menyerukan evaluasi menyeluruh tidak dilihat sebagai kritik destruktif, melainkan kontribusi konstruktif dalam proses demokrasi. Pemerintah pun terbuka terhadap berbagai masukan yang bertujuan memperbaiki tata kelola program.
MBG tetap menjadi program strategis yang mencerminkan keberpihakan negara kepada rakyat kecil. Evaluasi yang kini tengah dilakukan bukan tanda kegagalan, melainkan bagian dari mekanisme perbaikan yang sangat wajar dalam pelaksanaan kebijakan berskala besar. Komitmen Presiden Prabowo Subianto untuk menjadikan generasi Indonesia lebih sehat dan berkualitas sedang diuji melalui kebijakan ini, dan pemerintah menjawab tantangan itu dengan pendekatan yang adaptif namun tetap berpijak pada prinsip kehati-hatian dalam pengelolaan keuangan negara.
Evaluasi bukan akhir dari cerita, tetapi awal dari perjalanan baru menuju tata kelola program sosial yang semakin modern, terukur, dan berkelanjutan.
*) Pengamat Kebijakan Publik