Oleh : Aldia Putra )*
Di tengah berbagai tantangan ekonomi yang dihadapi masyarakat Indonesia, judi daring (judol) kini menjadi ancaman serius yang melemahkan daya beli rakyat. Aktivitas ilegal ini bukan hanya merugikan individu secara finansial, tetapi juga berdampak sistemik terhadap perekonomian nasional. Ketika uang masyarakat yang seharusnya digunakan untuk kebutuhan pokok dan produktif justru mengalir ke platform judol, maka tak heran jika daya beli ikut tergerus.
Menteri Koperasi dan Usaha Mikro Kecil dan Menengah (UMKM), Maman Abdurrahman, mengungkapkan bahwa berdasarkan laporan Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP), jumlah uang yang digelontorkan masyarakat ke praktik judol mencapai Rp 900 triliun per tahun. Angka ini sungguh mencengangkan, dan mencerminkan seberapa dalam candu judol telah menjalar di masyarakat.
Maman mencontohkan bagaimana uang sebesar Rp 2 juta yang dikirimkan orang tua kepada anaknya bisa langsung menyusut drastis karena digunakan untuk berjudi. Bahkan jika hanya separuh dari uang tersebut yang habis untuk judol, daya beli anak muda itu sudah terganggu. Ia menegaskan bahwa masyarakat yang menjadikan judol sebagai pelarian atau hiburan justru sedang menggali lubang ekonomi pribadi. Oleh karena itu, ia mendukung langkah tegas pemerintah untuk menekan aktivitas ini agar daya beli masyarakat kembali membaik.
Fenomena ini juga dapat dibaca melalui indikator ekonomi yang ada. Pada awal 2025, Indonesia mencatatkan deflasi sebesar 0,1 persen secara tahunan—angka terendah sejak Januari 2000. Menurut survei Bank Indonesia, melemahnya daya beli ini dipengaruhi oleh menurunnya keyakinan konsumen, terutama terkait kondisi ketenagakerjaan. Artinya, masyarakat semakin enggan membelanjakan uangnya karena merasa masa depan tidak menentu. Judi online, yang menyedot dana rumah tangga secara signifikan, memperparah kondisi ini.
Namun begitu, harapan masih terbuka. Maman mencatat bahwa tren pengguna judol mulai menurun sejak pemerintah memperketat penindakan. Ia berharap, dengan menurunnya pengguna, daya beli masyarakat akan berangsur membaik karena penghasilan mereka tidak lagi habis untuk aktivitas konsumtif dan spekulatif seperti judol.
Sementara itu, pemerintah melalui Kementerian Komunikasi dan Digital (Komdigi) juga tidak tinggal diam. Menteri Komdigi, Meutya Hafid, menyampaikan bahwa pihaknya telah memblokir lebih dari 1 juta situs judi online. Namun ia mengakui bahwa pemblokiran teknis saja belum cukup menyelesaikan persoalan. Ia menyebutkan bahwa judol telah menjelma menjadi krisis sosial yang memerlukan pendekatan menyeluruh, melibatkan berbagai sektor dan elemen masyarakat.
Meutya menyatakan bahwa pemerintah punya kewenangan untuk melakukan pemblokiran situs, tetapi menurutnya hal yang lebih penting adalah menciptakan ekosistem yang bersih dan sadar akan bahaya judi daring. Ia pun mengapresiasi inisiatif berbagai pihak, seperti platform digital dan stakeholder yang tergabung dalam Aliansi Judi Pasti Rugi, yang aktif membantu upaya pemberantasan judol.
Yang menarik, Meutya juga menekankan peran keluarga dan masyarakat akar rumput dalam menanggulangi masalah ini. Ia mengajak para mitra pengemudi Gojek—yang dikenal memiliki kedekatan dengan komunitas—untuk menjadi agen perubahan. Menurutnya, perubahan perilaku masyarakat terhadap judi daring bisa dimulai dari edukasi lingkungan terdekat, termasuk rumah dan tempat kerja.
Langkah-langkah pemerintah dan kolaborasi lintas sektor ini patut diapresiasi. Sebab, dampak judol bukan sekadar finansial, tetapi juga menyangkut masa depan generasi muda, stabilitas keluarga, dan efektivitas kebijakan ekonomi nasional. Jika masyarakat terus terjerumus dalam jebakan digital ini, maka segala upaya untuk mendorong pertumbuhan ekonomi berbasis konsumsi dan UMKM akan menemui jalan buntu.
Selain itu, kita perlu menyadari bahwa pemulihan daya beli masyarakat tidak bisa hanya mengandalkan intervensi pemerintah semata. Partisipasi aktif dari masyarakat menjadi kunci utama. Orang tua perlu lebih cermat dalam mendampingi anak-anaknya, tokoh masyarakat bisa ikut menyuarakan bahaya judi daring di ruang publik, dan anak muda harus lebih kritis dalam menggunakan teknologi.
Masalah judol juga harus dilihat sebagai tantangan literasi digital. Banyak masyarakat yang belum menyadari bahwa layanan judi kini terselubung dalam bentuk aplikasi gim, media sosial, hingga iklan tersamar. Oleh karena itu, literasi digital harus terus ditingkatkan agar masyarakat tidak terjebak pada praktik yang secara hukum dilarang dan secara sosial merusak.
Dari sisi ekonomi, setiap rupiah yang keluar dari saku masyarakat untuk judi daring adalah potensi konsumsi yang hilang dari sektor riil. Padahal, konsumsi rumah tangga merupakan pilar utama pertumbuhan ekonomi Indonesia. Maka, semakin besar masyarakat yang terjebak dalam siklus judol, semakin besar pula tekanan terhadap target-target pemulihan ekonomi nasional.
Kini saatnya semua pihak bergerak bersama. Pemerintah, swasta, media, keluarga, hingga komunitas-komunitas anak muda harus menyatukan langkah untuk membendung arus judol yang menggerus kesejahteraan rakyat. Jika Indonesia ingin menjadi bangsa yang kuat secara ekonomi, maka penyakit sosial seperti judi daring harus segera diberantas tuntas.
Mari kita lawan bersama ancaman ini. Katakan tidak pada judi online. Jaga dompet, jaga masa depan. Gunakan uang dan waktu kita untuk hal-hal yang produktif, bukan untuk aktivitas yang hanya membawa penyesalan. Indonesia akan semakin sejahtera jika masyarakatnya cerdas dalam mengambil keputusan finansial. Jangan biarkan judi daring merampas masa depan kita.
)* Penulis adalah pengamat sosial ekonomi