Jakarta, — Di tengah dinamika geopolitik global yang semakin kompleks, pelaksanaan Konferensi ke-19 Parliamentary Union of the OIC Member States (PUIC) di Jakarta menjadi momentum emas bagi Indonesia untuk memainkan peran kunci sebagai pemersatu dunia Islam dan penggerak diplomasi multilateral yang lebih berdaya guna.
Profesor Hubungan Internasional Universitas Padjadjaran, Teuku Rezasyah, menilai bahwa penyelenggaraan PUIC bukan sekadar agenda rutin, melainkan peluang strategis yang harus dimanfaatkan secara maksimal oleh Indonesia. Di tengah konflik yang membara di Timur Tengah, ketegangan geopolitik antara Amerika Serikat dan Tiongkok, serta krisis yang berkepanjangan di Eropa Timur, Indonesia dinilai mampu menawarkan pendekatan kolaboratif dan diplomasi yang sejuk dalam meredakan ketegangan global.
“Ini adalah momen strategis bagi Indonesia untuk memperkuat solidaritas antarnegara Muslim sekaligus menunjukkan kepemimpinan globalnya dalam menghadapi situasi dunia yang tidak menentu,” ujar Teuku Rezasyah.
Lebih jauh, Teuku menekankan bahwa forum PUIC sangat relevan dengan konteks global saat ini yang dipenuhi krisis multidimensional—mulai dari kemanusiaan, energi, pangan, hingga lingkungan. Melalui konferensi ini, Indonesia dapat memperkokoh peranannya dalam berbagai forum internasional seperti G20, BRICS, dan Organisasi Kerja Sama Islam (OKI), tidak hanya sebagai peserta, tetapi sebagai inisiator dan penentu arah kebijakan global yang lebih berkeadilan.
“PUIC memberikan ruang bagi Indonesia untuk menunjukkan bahwa negara Muslim bisa menjadi bagian dari solusi global, bukan hanya penonton,” tegasnya.
Di bidang ekonomi dan teknologi, Teuku Rezasyah mengusulkan pentingnya membentuk koalisi strategis di antara negara-negara OKI yang memiliki kekuatan finansial dan sumber daya besar. Negara seperti Arab Saudi, Qatar, Turki, dan Iran disebutnya sebagai mitra kunci bagi Indonesia dalam membangun ekosistem investasi, perdagangan, serta inovasi teknologi yang dapat mempercepat kemajuan negara-negara Islam.
“Indonesia harus merancang aliansi konkret dengan negara-negara kaya di dunia Islam untuk mengamankan kepentingan jangka panjang dalam bidang ekonomi dan teknologi. Tanpa kolaborasi, kita akan tertinggal,” ungkapnya.
Tak kalah penting adalah peran parlemen dalam menjaga arah kebijakan luar negeri yang berpihak pada nilai-nilai kemanusiaan. Dalam konteks PUIC, Teuku menekankan bahwa parlemen dapat menjadi kekuatan penyeimbang terhadap eksekutif, terutama dalam merespons isu-isu sensitif seperti konflik Palestina dan pelanggaran hak-hak dasar umat Muslim di berbagai belahan dunia.
“Parlemen adalah benteng moral negara. Mereka punya tanggung jawab besar untuk memastikan bahwa diplomasi kita tidak hanya berpijak pada kepentingan politik, tetapi juga pada nilai kemanusiaan dan keadilan global,” paparnya.
Konferensi PUIC ke-19 ini membuktikan bahwa Indonesia bukan hanya panggung logistik dari sebuah pertemuan internasional, tetapi pemain utama yang berkontribusi pada lahirnya solusi konkret dari dunia Islam untuk dunia. Dengan kekuatan diplomasi parlementer, jejaring strategis, serta visi inklusif yang dimiliki, Indonesia terus meneguhkan posisinya sebagai jangkar stabilitas dan suara moral dalam kancah global.