Oleh : Renata Yustisia )*
Pemerintah kembali menorehkan langkah progresif dalam mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh pekerja di Indonesia, termasuk mereka yang berada dalam sektor informal dan ekonomi digital. Salah satu wujud nyata dari langkah tersebut adalah dorongan serius agar perusahaan aplikasi transportasi berbasis digital seperti Ojek Online (Ojol) dan kurir daring turut memberikan Tunjangan Hari Raya (THR) kepada para mitra pengemudinya. Inisiatif ini menjadi sejarah penting dalam dunia ketenagakerjaan Indonesia karena untuk pertama kalinya, perhatian serius diberikan kepada pekerja sektor nonformal yang selama ini sering berada di wilayah abu-abu dalam hal perlindungan hak-haknya.
Kementerian Ketenagakerjaan yang dikomandoi oleh Menteri Yassierli telah mengambil langkah konkret dengan menyiapkan Surat Edaran (SE) yang mengatur nilai dan skema penyaluran THR, tidak hanya bagi pegawai swasta, BUMN, dan BUMD, tetapi juga bagi pengemudi ojol dan kurir daring. Rencana pengumuman SE yang dilakukan bersama perusahaan penyedia layanan transportasi berbasis aplikasi serta perwakilan pengemudi online menjadi simbol kolaborasi antara pemerintah, pelaku usaha, dan pekerja dalam menciptakan sistem ketenagakerjaan yang lebih inklusif.
Langkah ini tak lepas dari arahan langsung Presiden Prabowo Subianto yang memberikan perhatian khusus terhadap nasib para pengemudi dan kurir daring yang telah berjasa besar dalam mendukung sistem transportasi dan logistik nasional. Presiden menyadari bahwa meskipun para mitra Ojol dan kurir tidak memiliki hubungan kerja formal sebagaimana pekerja kantoran, namun kontribusi mereka terhadap perekonomian dan pelayanan publik sangat besar. Oleh karena itu, pemerintah mengimbau agar mereka pun mendapatkan hak THR, setidaknya dalam bentuk bonus tunai yang mempertimbangkan tingkat keaktifan dan kontribusi.
Dorongan pemerintah ini mendapat sambutan positif dari perusahaan penyedia layanan transportasi digital. Grab Indonesia, misalnya, langsung meluncurkan program bonus kinerja khusus sebagai bentuk penghargaan kepada mitra pengemudinya. Group CEO & Co-Founder Grab, Anthony Tan, menyatakan bahwa program ini merupakan bentuk apresiasi atas dedikasi dan kontribusi para mitra selama ini. Bonus ini sekaligus menjadi bentuk dukungan konkret yang tidak termasuk dalam manfaat rutin, namun sangat berarti menjelang Hari Raya Idul Fitri.
Country Managing Director Grab Indonesia, Neneng Goenadi, bahkan menegaskan bahwa program bonus ini dirancang dengan prinsip keadilan, di mana tingkat bonus akan mencerminkan tingkat keaktifan dan pencapaian masing-masing mitra. Hal ini menunjukkan bahwa perusahaan pun memiliki komitmen untuk membangun hubungan yang sehat, berkelanjutan, dan setara dengan para mitra pengemudi yang menjadi ujung tombak layanan.
Apa yang dilakukan pemerintah dan perusahaan seperti Grab ini bukan hanya soal tunjangan sesaat. Ini merupakan tonggak penting menuju pengakuan hak-hak pekerja sektor informal, terutama mereka yang bekerja sebagai gig worker di era ekonomi digital. Selama ini, status pekerja digital sering kali menjadi celah yang menghambat dalam memperoleh perlindungan sosial dan hak normatif sebagaimana pekerja formal. Dengan mendorong pemberian THR kepada Ojol dan kurir, pemerintah sedang membuka jalan bagi kebijakan ketenagakerjaan yang lebih inklusif dan adaptif terhadap perubahan zaman.
Wakil Ketua MPR RI, A.M. Akbar Supratman, juga menunjukkan dukungan penuh terhadap inisiatif ini. Ia menegaskan bahwa THR adalah kewajiban yang diatur dalam peraturan ketenagakerjaan, dan perusahaan yang tidak memenuhi kewajiban tersebut bisa dikenakan sanksi administratif sesuai dengan ketentuan yang berlaku. Ia juga mengingatkan bahwa pemberian THR harus dilakukan paling lambat tujuh hari sebelum Hari Raya Idul Fitri, guna memastikan pekerja dapat merayakan hari besar keagamaan dengan layak.
Data menunjukkan bahwa saat ini terdapat sekitar 250 ribu pengemudi Ojol yang bekerja secara penuh waktu, dan sekitar 1 hingga 1,5 juta lainnya yang bekerja secara paruh waktu. Jumlah ini tentu bukan angka yang kecil. Jika semua mitra pengemudi ini mendapatkan hak THR, maka akan ada multiplier effect yang besar dalam meningkatkan daya beli masyarakat dan perputaran ekonomi jelang Lebaran.
Lebih dari itu, langkah ini juga menjadi bentuk konkret dari komitmen negara dalam memberikan perlindungan sosial yang merata. Pemerintah tidak lagi hanya fokus pada pekerja sektor formal, tetapi mulai merangkul sektor informal dan digital yang pertumbuhannya begitu pesat yang sekaligus menjadi sinyal positif bagi perusahaan digital lain untuk tidak semata mencari keuntungan, tetapi juga berkontribusi dalam memperkuat keadilan sosial.
Momen ini seharusnya dimaknai sebagai cermin perubahan paradigma dalam melihat relasi kerja. Bahwa keaktifan dan kontribusi harus dihargai, terlepas dari status hubungan kerja. Pemerintah telah membuka jalan, dan saatnya semua pihak menunjukkan komitmen yang sama demi terciptanya ekosistem ketenagakerjaan yang lebih adil dan manusiawi.
Ke depan, langkah ini dapat diperluas ke bentuk perlindungan lain seperti jaminan sosial, asuransi kerja, hingga program pensiun untuk para pekerja gig. Dengan demikian, Indonesia bisa menjadi negara yang tidak hanya digital secara teknologi, tetapi juga maju dalam perlindungan sosial.
Langkah progresif ini patut diapresiasi. Pemerintah telah menunjukkan keberpihakan kepada seluruh lapisan pekerja. Kini, tinggal bagaimana seluruh perusahaan aplikasi menindaklanjutinya secara konsisten dan berkelanjutan. Karena pada akhirnya, keadilan sosial bukan hanya cita-cita, tetapi harus menjadi kenyataan yang dirasakan seluruh rakyat Indonesia.
)* penulis merupakan pengamat kebijakan ekonomi