Oleh : Cindy Ramadhani )*
Penyelenggaraan Konferensi ke-19 Parliamentary Union of the OIC Member States (PUIC) di Jakarta yang dimulai pada 12 Mei hingga 15 Mei 2025 menandai salah satu capaian diplomatik paling substansial yang berhasil diraih Indonesia dalam forum multilateral dunia Islam.
Konferensi tersebut bukan hanya menunjukkan kematangan diplomasi parlemen Indonesia, tetapi juga memperkuat posisi strategis negara ini di kancah internasional—terutama dalam menjembatani kerja sama negara-negara Organisasi Kerja Sama Islam (OKI).
Indonesia secara aktif mendorong isu-isu utama yang tidak hanya relevan secara global, tetapi juga menuntut perhatian khusus di lingkup negara-negara Muslim. Wakil Ketua Komisi VII DPR RI, Rahayu Saraswati Djojohadikusumo, menekankan pentingnya kebijakan ekonomi yang responsif terhadap dinamika global.
Ia secara tegas menyuarakan keprihatinan terhadap kebijakan tarif perdagangan Amerika Serikat yang berdampak pada sektor industri nasional. Dalam forum PUIC, Indonesia menyampaikan perlunya langkah konkret untuk melindungi industri dalam negeri dari tekanan eksternal, termasuk melalui kerja sama lintas negara anggota PUIC yang saling menguatkan.
Upaya itu tidak semata bertujuan mempertahankan daya saing ekonomi nasional, melainkan juga menegaskan peran Indonesia sebagai pemimpin dalam membentuk solidaritas antarnegara Islam.
Rahayu mendorong pertukaran budaya sebagai instrumen strategis untuk memperkuat solidaritas tersebut. Menurutnya, pemahaman yang mendalam antarbudaya akan membuka ruang kesetaraan dan inklusivitas di antara bangsa-bangsa Islam, meski Indonesia sendiri bukan negara Islam secara konstitusional. Justru melalui pendekatan ini, Indonesia mampu membangun posisi sebagai aktor sentral dalam pembentukan aliansi baru yang lebih dinamis, adil, dan progresif di lingkungan PUIC.
Dalam bidang ekonomi, Wakil Ketua Badan Kerja Sama Antar-Parlemen (BKSAP), Ravindra Airlangga, menyoroti stagnasi volume perdagangan antarnegara anggota OKI yang masih terjebak di angka 19 persen dari total perdagangan luar negeri dalam periode 2019 hingga 2023.
Angka tersebut tergolong rendah dibandingkan dengan integrasi ekonomi yang dicapai oleh kawasan lain seperti Uni Eropa atau ASEAN. Ravindra menyampaikan bahwa kondisi itu menjadi sinyal kuat bahwa kerja sama ekonomi antarnegara Islam masih jauh dari optimalisasi.
Sebagai langkah ke depan, Indonesia menginisiasi pentingnya pembentukan rantai pasok halal lintas negara, peningkatan konektivitas logistik, serta penguatan kebijakan perdagangan berbasis syariah.
Potensi pasar halal global yang diperkirakan mencapai 2,4 triliun dolar AS pada 2026 menjadi alasan utama mengapa negara-negara OKI perlu bergerak cepat dan strategis. Indonesia, dengan infrastrukturnya yang kian membaik dan basis produksi halal yang luas, berpotensi menjadi katalisator utama dalam mendorong ekonomi berbasis halal antarnegara anggota PUIC.
Sementara itu, Anggota BKSAP DPR RI, Mohamad Sohibul Iman, mengangkat isu yang tak kalah penting: perlindungan komunitas Muslim minoritas. Diskriminasi terhadap kelompok ini di berbagai belahan dunia dinilai tidak bisa lagi direspons secara sporadis.
Sohibul mengusulkan pembentukan panitia khusus PUIC yang bertugas memantau perkembangan regulasi di negara-negara di mana Muslim menjadi minoritas. Menurutnya, diskriminasi struktural yang muncul dari regulasi negara sangat sulit diubah jika sudah terlembagakan dalam bentuk undang-undang. Oleh karena itu, pemantauan sejak dini diperlukan untuk mencegah pembentukan kebijakan diskriminatif tersebut.
Usulan Sohibul itu sekaligus memperlihatkan arah baru diplomasi Indonesia yang kini semakin menjangkau isu-isu kemanusiaan transnasional, terutama dalam kerangka hak-hak minoritas dan inklusivitas global. Posisi Indonesia dalam menyuarakan perlindungan terhadap komunitas Muslim minoritas menjadi semakin kuat berkat reputasinya sebagai negara demokrasi Muslim terbesar di dunia.
Salah satu bukti konkret keberhasilan diplomatik Indonesia dalam PUIC ke-19 tercermin dalam pertemuan bilateral dengan Wakil Ketua Parlemen Qatar, Hamda Binti Hassan. Diskusi strategis antara kedua delegasi membahas peluang kerja sama pertahanan, termasuk produksi alutsista dan pelatihan militer bersama, yang diarahkan dalam kerangka Perjanjian Kerja Sama Pertahanan. Kolaborasi ini diharapkan mempererat kemitraan strategis dan membuka ruang pertukaran kapasitas di sektor militer antarnegara Muslim.
Tak hanya di bidang pertahanan, pembahasan juga menyentuh kerja sama ketenagakerjaan dan diplomasi budaya. Kontribusi lebih dari 24 ribu tenaga kerja Indonesia di Qatar menjadi titik masuk penguatan hubungan bilateral yang lebih inklusif. Pemerintah Qatar bahkan menunjukkan komitmen dalam pelindungan hak-hak tenaga kerja, sebuah langkah penting dalam membangun hubungan yang lebih setara.
Penguatan diplomasi budaya menjadi sorotan tambahan, khususnya pasca-penunjukan Indonesia sebagai negara mitra dalam program Year of Culture 2023. Inisiatif lanjutan yang melibatkan pemuda, seniman, dan pelaku kreatif dari kedua negara dinilai menjadi fondasi kuat untuk menumbuhkan pemahaman lintas budaya secara berkelanjutan.
Apresiasi dari berbagai negara anggota, termasuk dari Parlemen Qatar dan Gambia, atas kesuksesan penyelenggaraan PUIC ke-19 di Jakarta, menjadi validasi nyata atas diplomasi efektif yang dijalankan Indonesia. Forum ini tidak sekadar menjadi ruang diskusi, tetapi menjelma sebagai momentum akseleratif yang mendorong terciptanya jejaring kerja sama konkret lintas sektor dan negara.
Melalui pendekatan multiarah yang mencakup sektor industri, ekonomi halal, diplomasi budaya, hingga perlindungan minoritas Muslim, Indonesia menunjukkan kapasitasnya sebagai aktor sentral yang tidak hanya menyuarakan nilai, tetapi juga menghadirkan solusi. PUIC ke-19 menjadi panggung strategis yang memperkuat reputasi Indonesia sebagai penggerak diplomasi Islam yang moderat, inklusif, dan berbasis kerja sama nyata. (*)
)* Penulis adalah kontributor Pertiwi Institute