Oleh : Salsabila Rachma)*
Proses pembentukan undang-undang merupakan salah satu pilar utama dalam sistem demokrasi. Kualitas legislasi tidak hanya ditentukan oleh substansi norma hukum, tetapi juga oleh mekanisme, transparansi, dan keterlibatan publik dalam penyusunannya. Dalam kerangka ini, upaya DPR RI untuk merumuskan pendekatan baru dalam pembahasan rancangan undang-undang (RUU) merupakan langkah progresif yang patut diapresiasi. Gagasan tersebut mengindikasikan adanya kehendak kuat dari lembaga legislatif untuk meningkatkan akuntabilitas, keterbukaan, serta responsivitas hukum terhadap kebutuhan dan aspirasi masyarakat.
Wakil Ketua DPR RI Sufmi Dasco Ahmad menyampaikan bahwa pihaknya tengah mempersiapkan mekanisme formulasi baru dalam pembahasan RUU, khususnya melalui penyelenggaraan seminar dan diskusi terbuka di kampus-kampus maupun lingkungan DPR. Pendekatan ini menjadi cerminan konkret dari upaya menciptakan proses legislasi yang lebih partisipatif dan inklusif. Menurutnya, seminar-seminar tersebut akan mendahului tahapan formal pembahasan RUU, sehingga publik memiliki kesempatan lebih awal untuk memberikan masukan sebelum materi RUU dibahas secara resmi di ruang rapat parlemen.
Inisiatif ini merupakan jawaban atas berbagai kritik terhadap proses legislasi yang selama ini dinilai minim partisipasi publik, terlalu elitis, atau bahkan terburu-buru. Dengan membuka ruang dialog publik sejak tahap awal, DPR memberikan sinyal kuat bahwa proses penyusunan undang-undang tidak bersifat eksklusif, melainkan menjadi tanggung jawab kolektif seluruh elemen bangsa. Dengan pendekatan baru ini, rakyat tidak hanya diposisikan sebagai objek regulasi, tetapi juga sebagai subjek yang aktif dalam menentukan arah kebijakan hukum nasional.
Formulasi baru ini juga memperlihatkan semangat pembaruan di tubuh parlemen. Sufmi Dasco Ahmad menegaskan bahwa komunikasi lintas fraksi akan diperkuat untuk menyamakan persepsi terhadap pendekatan baru tersebut. Hal ini menjadi sangat penting, mengingat harmonisasi antarfraksi di DPR merupakan prasyarat utama bagi kelancaran reformasi proses legislasi. Melalui konsolidasi yang solid, perubahan pendekatan tidak hanya menjadi inisiatif individual atau fraksional, tetapi diadopsi sebagai komitmen institusional secara menyeluruh.
Penting untuk dipahami bahwa proses legislasi yang partisipatif bukan sekadar soal keterbukaan informasi, tetapi juga menyangkut kualitas dialog yang terbangun antara legislator dan publik. Forum-forum diskusi yang melibatkan akademisi, organisasi masyarakat sipil, mahasiswa, dan kalangan profesional dapat memperkaya dimensi keilmuan, rasionalitas, dan keberpihakan sosial dalam penyusunan RUU. Dengan demikian, undang-undang yang dihasilkan tidak hanya legal secara formal, tetapi juga legitimate secara sosial dan fungsional dalam menjawab kebutuhan nyata masyarakat.
Langkah ini juga sejalan dengan kebutuhan untuk memperkuat kepercayaan publik terhadap lembaga legislatif. Dalam beberapa tahun terakhir, kepercayaan terhadap DPR kerap diuji oleh berbagai dinamika politik dan sejumlah keputusan kontroversial dalam pembentukan undang-undang. Oleh karena itu, pendekatan baru yang menempatkan publik sebagai bagian integral dari proses legislasi menjadi sangat relevan dalam upaya membangun ulang relasi kepercayaan antara wakil rakyat dan rakyat itu sendiri. Transparansi, dialog terbuka, dan pelibatan publik merupakan instrumen penting dalam demokratisasi proses kebijakan.
Inisiatif ini juga memiliki potensi besar dalam meningkatkan kualitas substansi RUU yang dibahas. Masukan dari berbagai elemen masyarakat akan menjadi sumber informasi tambahan yang sangat berharga, terutama dalam menangkap dinamika sosial, ekonomi, budaya, dan teknologi yang terus berubah. Dengan melibatkan suara publik sejak awal, potensi resistensi terhadap undang-undang baru dapat diminimalisasi, karena publik merasa menjadi bagian dari proses, bukan sekadar menjadi penerima akhir kebijakan.
Sufmi Dasco Ahmad juga menyatakan bahwa langkah ini merupakan bagian dari strategi jangka panjang DPR untuk membentuk sistem kerja yang lebih terukur, sistematis, dan berbasis masukan publik dalam menjalankan fungsi legislasi. Perubahan pendekatan ini bukan hanya bersifat kosmetik, melainkan dirancang sebagai bagian dari upaya memperkuat daya dukung kelembagaan terhadap demokrasi konstitusional yang lebih matang. Ini juga sejalan dengan amanat reformasi yang menuntut peningkatan kualitas tata kelola pemerintahan, termasuk di sektor legislatif.
Penerapan formulasi baru ini tentu menjadi ujian tersendiri bagi DPR dalam mempertahankan konsistensi dan integritas proses legislasi. Dibutuhkan kesiapan administratif, sumber daya manusia yang kompeten, dan kemampuan menyerap serta mengelola aspirasi masyarakat secara bijaksana. Keterlibatan publik yang luas tidak boleh dimaknai sebagai penghambat kerja legislasi, melainkan sebagai mekanisme pengawasan sosial yang memperkaya serta memperkuat kualitas hasil akhir produk hukum.
Lebih jauh lagi, kehadiran forum-forum akademik dan diskusi publik dalam setiap pembahasan RUU juga dapat menjadi media edukatif yang efektif bagi masyarakat untuk memahami secara lebih dalam proses pembentukan hukum nasional. Hal ini akan mendorong literasi hukum publik, memperkuat kesadaran konstitusional, serta membentuk budaya hukum yang sehat dan berorientasi pada keadilan sosial. Legislasi tidak lagi dipandang sebagai proses eksklusif yang rumit dan jauh dari rakyat, tetapi sebagai arena dialog kebangsaan yang inklusif, rasional, dan konstruktif.
Langkah ini pada akhirnya diharapkan menjadi standar baru dalam setiap pembahasan RUU di masa mendatang. Terobosan ini dapat menjadi warisan positif DPR periode saat ini dalam mendorong transformasi sistem legislasi nasional. Bila diterapkan secara konsisten, formulasi baru tersebut akan memperkuat pilar demokrasi Indonesia dan menjadikan hukum sebagai instrumen keadilan sosial, perlindungan hak asasi, serta pemajuan kesejahteraan umum secara menyeluruh.
)* Penulis merupakan Pengamat Politik Partisipatif