Kebijakan RUU KUHAP Dukung Supremasi Hukum Nasional

  • Share

Oleh: Nisa Amalia )*

Pengesahan Rancangan Undang-Undang tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (RUU KUHAP) menandai babak baru dalam penguatan sistem hukum nasional. Pemerintah bersama DPR RI menunjukkan komitmen kuat dalam membangun sistem peradilan pidana yang tidak hanya efisien secara prosedural, tetapi juga berkeadilan secara substansial. Upaya untuk merevisi KUHAP menjadi sangat mendesak mengingat berlakunya Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) baru pada awal Januari 2026 yang mengusung paradigma hukum pidana modern berbasis hak asasi manusia.

banner 336x280

Wakil Menteri Hukum dan HAM, Edward Hiariej, menilai pembaruan KUHAP sebagai keniscayaan yang tidak dapat dihindari. Menurutnya, KUHP baru telah meninggalkan pendekatan hukum retributif dan beralih pada keadilan korektif, restoratif, serta rehabilitatif. Pergeseran paradigma ini mengharuskan sistem hukum acara pidana ikut disesuaikan agar tidak terjadi ketimpangan dalam pelaksanaan hukum pidana. KUHAP yang lama masih dibingkai dalam model pengendalian kejahatan yang lebih menekankan efisiensi dan kecepatan penyelesaian perkara. Sementara sistem yang akan dibangun ke depan justru menjunjung tinggi proses hukum yang adil dengan penekanan pada perlindungan hak individu sejak awal proses hukum berlangsung.

Perbedaan mendasar antara sistem yang berlaku saat ini dengan yang akan diusung KUHP baru cukup mencolok. Dalam sistem lama, penahanan yang dilakukan oleh penyidik sangat dibatasi oleh waktu dan diarahkan untuk menyederhanakan proses penuntutan, bahkan cenderung menempatkan tersangka dalam posisi yang sudah diasumsikan bersalah. Hal ini kontras dengan prinsip due process of law yang menjadi kerangka utama KUHP baru, di mana asas praduga tak bersalah ditempatkan sebagai pijakan utama. Edward Hiariej menjelaskan bahwa KUHAP yang berlaku sekarang tidak dibangun dengan semangat tersebut, sehingga revisi yang menyeluruh menjadi penting agar tidak terjadi konflik norma ketika KUHP baru diterapkan.

Pentingnya pembaruan KUHAP juga disampaikan oleh Hakim Yustisial Pada Biro Hukum dan Humas Mahkamah Agung, Riki Perdana Raya Waruwu. Ia memandang pembaruan tersebut bukan hanya bersifat normatif, melainkan juga berkaitan erat dengan jaminan keadilan bagi seluruh pihak yang terlibat dalam sistem peradilan pidana. Menurutnya, KUHAP saat ini belum sepenuhnya mencerminkan asas keseimbangan antara hak tersangka dan korban. Hal ini terlihat dari ruang lingkup perlindungan korban yang masih sangat terbatas, sedangkan hak-hak tersangka diatur lebih luas dan terperinci. KUHP baru telah mengakui hak-hak korban secara lebih progresif, seperti perlindungan identitas dan jaminan sosial, yang perlu ditopang oleh hukum acara yang setara dalam perlindungan.

Lebih jauh, Riki juga menunjukkan bahwa KUHAP yang lama belum memberikan fleksibilitas kepada hakim dalam menegakkan keadilan secara substantif. Salah satu contoh yang ia kemukakan adalah ketentuan Pasal 193 Ayat (1) KUHAP, yang mewajibkan hakim menjatuhkan pidana jika terdakwa terbukti bersalah. Ketentuan ini bertolak belakang dengan Pasal 54 Ayat (2) KUHP baru, yang justru memberikan ruang bagi hakim untuk mempertimbangkan latar belakang perbuatan, kondisi pribadi pelaku, serta dampak peristiwa dalam memutuskan perlunya menjatuhkan pidana atau tidak. Ketidaksesuaian norma ini berpotensi menimbulkan kekacauan dalam praktik hukum apabila tidak segera diharmonisasi.

Senada dengan itu, Ketua Ikatan Alumni Fakultas Hukum Universitas Indonesia (ILUNI FHUI) periode 2021–2024, Rapin Mudiardjo, melihat pengesahan KUHP sebagai tonggak penting dalam perjalanan hukum Indonesia. Ia menilai bahwa proses panjang penyusunan KUHP menggambarkan kedewasaan bangsa dalam membangun sistem hukum nasional yang lebih humanis dan adaptif. Namun demikian, ia juga menekankan bahwa keberhasilan pelaksanaan KUHP sangat tergantung pada kesiapan hukum acara pidananya. Tanpa adanya KUHAP yang baru, maka nilai-nilai kemanusiaan yang ingin ditegakkan melalui KUHP akan sulit terealisasi secara utuh.

Rapin menyebut bahwa sistem hukum pidana yang baru ini harus mampu menjamin kepastian hukum dan sekaligus menjawab kebutuhan keadilan yang dirasakan masyarakat. Hal tersebut hanya bisa tercapai apabila KUHAP dan KUHP berada dalam satu semangat politik hukum yang sama. Dengan kata lain, hukum acara tidak hanya menjadi instrumen teknis, tetapi juga menjadi bagian dari visi besar reformasi hukum nasional yang menjunjung tinggi supremasi hukum.

Masuknya RUU KUHAP ke dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) Prioritas 2025 menunjukkan bahwa pemerintah tidak sekadar menyusun regulasi, melainkan juga merancang arah pembangunan hukum ke depan. Langkah DPR RI yang menetapkan RUU ini sebagai inisiatif legislatif menunjukkan kesepahaman antarlembaga negara untuk segera menghadirkan sistem hukum acara pidana yang lebih adil dan berimbang.

Dengan target implementasi KUHP baru yang tinggal hitungan bulan, reformasi KUHAP menjadi pekerjaan strategis yang harus dituntaskan. Pemerintah telah menunjukkan langkah konkret melalui koordinasi lintas lembaga dan penyusunan naskah akademik yang komprehensif. Sementara itu, proses legislasi yang berjalan di DPR menjadi arena penting bagi pembentukan norma-norma baru yang menjamin keadilan tidak hanya sebagai prinsip, tetapi sebagai kenyataan dalam setiap proses hukum yang dijalankan.

Revisi KUHAP bukanlah sekadar penyesuaian prosedur, melainkan penyempurnaan sistem hukum agar mampu menjawab tantangan zaman. Dengan pembaruan ini, pemerintah mempertegas komitmennya terhadap supremasi hukum nasional yang berorientasi pada kepastian, kemanfaatan, dan keadilan. Agenda besar reformasi hukum yang telah dimulai dengan pengesahan KUHP akan berjalan lebih sempurna melalui penyempurnaan KUHAP, demi menciptakan sistem hukum pidana yang membela hak setiap warga negara secara adil dan berimbang.

)* Pengamat Kebijakan Publik

  • Share