Oleh: Andi Suryatma )*
Pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI) menunjukkan langkah tegas dalam mendorong penguatan sistem hukum nasional melalui percepatan pembahasan Rancangan Undang-Undang tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (RUU KUHAP). Langkah ini bukan hanya sebatas memenuhi kebutuhan normatif, tetapi lebih jauh merupakan manifestasi nyata dari agenda reformasi hukum nasional yang berpihak pada keadilan, kemanusiaan, dan kepastian hukum.
Ketua Komisi III DPR RI, Habiburokhman, telah menegaskan bahwa pembahasan RUU KUHAP akan diselesaikan dalam waktu dekat. Baginya, urgensi revisi ini tidak terlepas dari kebutuhan hukum acara pidana yang dapat mengoperasionalkan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) yang baru, yang telah disusun selaras dengan semangat hukum modern. KUHP terbaru tidak lagi berpijak pada semangat balas dendam, melainkan mendorong model peradilan yang mengedepankan pemulihan dan keadilan substantif.
Selama ini, KUHAP lama dikenal lebih mengedepankan pendekatan kontrol terhadap kejahatan, dengan logika efisiensi dan kecepatan sebagai tolok ukur utama. Pendekatan tersebut, yang secara akademik dikenal sebagai crime control model, seringkali mengabaikan prinsip hak asasi manusia, terutama dalam hal penegakan asas praduga tidak bersalah. KUHAP dalam bentuknya yang lama memberi ruang minim bagi perlindungan hak-hak tersangka serta peran advokat dalam mendampingi proses hukum. Ketidakseimbangan ini akhirnya melahirkan kritik publik, termasuk dari komunitas hukum dan aktivis HAM.
Berbeda dari kerangka lama, RUU KUHAP mengusung paradigma due process of law, yang menekankan pada kualitas proses hukum dan penghormatan terhadap kebebasan individu. Perubahan ini mencerminkan orientasi baru dalam pembentukan hukum yang tidak semata menekan angka kejahatan, tetapi juga menjamin bahwa penanganan perkara dilakukan secara adil, transparan, dan menjunjung tinggi hak asasi manusia.
Wakil Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia, Edward Omar Sharif Hiariej, telah menekankan bahwa pembaruan KUHAP adalah sebuah keniscayaan. Menurutnya, KUHP yang telah disahkan membawa semangat keadilan korektif, restoratif, dan rehabilitatif. Prinsip-prinsip tersebut membutuhkan fondasi hukum acara yang sejalan, agar pelaksanaannya tidak mengalami distorsi dalam praktik. Ia mengingatkan bahwa sistem hukum acara yang modern harus membuka ruang keadilan bukan hanya bagi korban, tetapi juga bagi pelaku, dalam bingkai yang berkeadilan.
Dalam konteks ini, pemerintah menempatkan revisi KUHAP sebagai bagian penting dari konsolidasi sistem peradilan pidana nasional. Berbagai elemen, seperti mekanisme praperadilan aktif, mulai dirancang untuk menghindari penahanan yang sewenang-wenang. Dalam draf yang tengah disusun, usulan untuk mewajibkan pemeriksaan hakim sebelum seseorang dapat ditahan, menjadi salah satu bentuk nyata perlindungan terhadap kebebasan individu. Hal ini menjawab keluhan yang selama ini muncul dari masyarakat mengenai minimnya pengawasan dalam proses penahanan.
Lebih lanjut, RUU KUHAP juga memberikan perhatian serius terhadap hak-hak dasar tersangka, mulai dari hak untuk mendapatkan pendampingan hukum, hak untuk tidak disiksa, hingga hak atas layanan kesehatan. Pemerintah memastikan bahwa perlindungan ini tidak hanya tertulis secara normatif, tetapi dapat diimplementasikan secara efektif dalam praktik penegakan hukum. Dengan kata lain, negara ingin membuktikan bahwa hukum bukanlah alat kekuasaan semata, tetapi instrumen keadilan yang memberi rasa aman bagi seluruh warga.
Ketua Komisi III DPR RI melihat kesesuaian antara semangat politik hukum dalam KUHP baru dan RUU KUHAP sebagai kunci agar sistem hukum nasional dapat berjalan utuh. Oleh karena itu, revisi KUHAP tidak boleh berjalan parsial, melainkan harus mencerminkan visi besar reformasi hukum Indonesia. Dalam pelaksanaannya nanti, masyarakat akan dilibatkan secara aktif agar masukan yang diberikan menjadi bahan penyempurnaan yang relevan dan aplikatif.
Kepala Badan Keahlian DPR RI, Inosentius Samsul, memandang keterlibatan publik bukan hanya sebagai bentuk partisipasi demokratis, tetapi juga sebagai upaya menyiapkan masyarakat dalam menghadapi implementasi regulasi baru. Proses legislasi yang terbuka akan memperkuat kepercayaan publik terhadap lembaga legislatif sekaligus memastikan bahwa setiap pasal yang disusun mencerminkan kebutuhan hukum masyarakat secara luas.
RUU KUHAP juga didesain untuk harmonis dengan berbagai regulasi kontemporer lainnya. Hal ini penting agar tidak terjadi kontradiksi antara norma hukum yang satu dengan yang lain. Pemerintah menegaskan bahwa pembaruan KUHAP ini harus tetap menjaga kesinambungan sistem hukum, tanpa mengorbankan prinsip-prinsip dasar yang telah disepakati secara universal. Oleh sebab itu, proses harmonisasi dan sinkronisasi terus diupayakan bersama lembaga-lembaga terkait.
Perubahan besar dalam kerangka hukum acara ini menunjukkan bahwa negara tidak tinggal diam dalam menjawab kritik dan tantangan atas sistem peradilan pidana yang berlaku selama ini. Pemerintah, bersama DPR RI, tidak hanya berupaya memenuhi kewajiban normatif, tetapi juga mengedepankan komitmen terhadap hukum yang humanis, adil, dan menjamin kepastian hukum bagi setiap warga negara.
Dengan arah reformasi yang semakin jelas dan komitmen politik yang kuat, pengesahan RUU KUHAP menjadi tonggak penting dalam sejarah sistem peradilan Indonesia. Tidak hanya menjawab tantangan masa lalu, tetapi juga mempersiapkan landasan hukum yang tangguh dan relevan untuk masa depan.
)* Penulis adalah kontributor Jendela Baca Institute