Jakarta, jurnalredaksi– Pemerintah mengutamakan dialog dalam penanganan situasi keamanan di Papua. Pendekatan tersebut diharapkan dapat menciptakan percepatan terwujudnya situasi keamanan di Bumi Cendrawasih.
Keamanan di Papua menjadi salah satu concern pemerintah karena hingga saat ini masih ada ancaman dari kelompok separatis dan teroris (KST). Namun cara untuk mengatasi kelompok pemberontak itu bukan dengan yang spartan, akan tetapi dengan pendekatan humanis dan dialog dari hati ke hati. Cara ini dirasa lebih efektif daripada yang sebelumnya.
Menko Polhukam Mahfud MD menyatakan bahwa pemerintah akan mengutamakan diualog dan pendekatan kesejahteraan dalam mengatasi situasi di Papua. Strategi ini sesuai dengan amanat inpres nomor 9 tahun 2020 tentang percepatan pembangunan kesejahteraan di Provinsi Papua dan Papua Barat serta UU nomor 2 tahun 2021 tentang otsus Papua.
Mahfud MD menambahkan, Papua adalah bagian dari NKRI dan pihaknya sudah melakukan mapping bagian mana saja di sana yang merupakan daerah ‘panas’ alias rawan konflik. Misalnya di Intan Jaya, Yahukimo, dan beberapa tempat lain yang pernah terjadi kekerasan akibat serangan KST. Dalama artian, daerah panas hanya di itu-itu saja, sehingga bisa menangkis isu bahwa di Papua tidak aman.
Dengan mapping maka bisa dilihat mana saja yang merupakan daerah merah dan akan dilakukan dialog lebih intensif ke sana. Diharap dengan adanya audensi antara perwakilan dari pemerintah pusat, perwakilan daerah, aparat keamanan, dan perwakilan Kelompok Separatis dan Teroris (KST), akan ditemukan titik terang.
Para anggota KST bisa paham bahwa sebenarnya yang mereka minta ke pemerintah pusat selama ini sudah dikabulkan. KST dan OPM selama ini menuntut agar Papua disejahterakan oleh pemerintah, dan sekarang buktinya sudah ada jalan trans Papua dan banyak infrastruktur lain yang dibangun demi rakyat. Masyarakat sipil juga makin makmur dan tidak ada lagi yang hidup di bawah garis kemiskinan.
Dengan kesadaran seperti ini maka diharap KST menghentikan rencana-rencananya, terutama keinginan kuat untuk memberontak. Tidak usahlah membuat republik federal Papua barat karena hanya akan sia-sia, karena tidak akan diikuti oleh masyarakat sipil lainnya. Penyebabnya karena mayoritas warga di Bumi Cendrawasih cinta NKRI.
Dialog dari hati ke hati diharap bisa menyadarkan banyak personel KST dan akan dibantu juga oleh para pemuka agama. Jika ada pastur dan pendeta yang maju maka anggota kelompok pemberontak itu akan menghormatinya, lalu mendengarkan petuah-petuahnya.
Selain itu, ketika ada anggota KST yang akhirnya bertobat, maka ia akan diterima dengan senang hati. Ketika menyerahkan diri ke pangkuan NKRI maka ia tidak akan ditangkap oleh aparat keamanan (dengan catatan menyerahkan senjata-senjatanya). Malah ia akan dibantu untuk mendapatkan pekerjaan baru.
Pendekatan dengan dialog dan kesejahteraan diharap akan menjadi babak baru dan akan membuat banyak personel KST yang menyerahkan diri ke pangkuan ibu pertiwi. Dengan dialog dari hati ke hati maka para eks anggota KST akan sadar bahwa perbuatannya selama ini salah, lalu membatalkan niatnya untuk memberontak.
)* Penulis adalah mahasiswa Papua tinggal di Bali
(MW/AA)