Jakarta, jurnalredaksi– Generasi muda merupakan agen moderasi beragama untuk mencegah radikalisme. Dengan adanya keterlibatan generasi muda tersebut maka penyebaran paham radikal diharapkan dapat dibendung.
Kasubag TU Puslitbang Bimas Agama dan Layanan Keagamaan (BALK) Kemenag, Rizky Riyadu Topek mengatakan, kaum milenial pada dasarnya memiliki citra lebih terdidik, terbuka dan paham teknologi. Kini kita tengah menyongsong era beragama yang lebih humanistis dan universal.
Kemandirian generasi milenial dalam memanfaatkan teknologi, akan mendorong anak muda menuju peremajaan keyakinan dan moderatisme beragama, terutama dengan mengajukan pertanyaan dan berpikir kritis. Untuk itu, semua pihak perlu memperkuat kembali kepemilikan atas identitas yang sebenarnya, yaitu muslim Indonesia yang moderat, yang beragama secara ramah, toleran dan menerima keanekaragaman.
Rizky menuturkan, Kalangan milenial merupakan generasi yang memiliki peran penting sebagai agen moderasi beragama. Milenial dapat menyosialisasikan muatan moderasi beragama di masyarakat agar tercipta kehidupan yang harmonis, damai dan rukun.
Dia menjelaskan, moderasi dalam beragama dapat terlihat melalui empat indikator di antaranya adanya komitmen kebangsaan yang kuat, sikap toleran terhadap sesama, memiliki prinsip menolak tindakan kekerasan baik secara fisik maupun verbal serta menghargai tradisi dan budaya lokal masyarakat Indonesia yang sangat agamis.
M. Irkham selaku Ketua Bidang Keagamaan PB PMII mengatakan, moderasi beragama sangat penting dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Pihaknya mengapresiasi konsep moderasi beragama untuk diimplementasikan dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.
Sebelumnya Badan Intelijen Negara (BIN) menemukan faktor generasi milenial saat ini amatlah rentan menjadi target utama perekrutan kelompok teroris, lantaran aktifnya generasi milenial dalam menggunakan media sosial sangat mudah mengakses ideologi paham radikal.
Generasi milenial yang kerap menjadi sasaran pemaparan paham radikal adalah remaja berusia 17 sampai 24 tahun yang mudah terpapar dengan akses internet. Kemudian dampaknya, bisa membangun lone wolf atau serangan seorang diri yang merupakan aksi paling memungkinkan terjadi kedepannya.
Terlebih ketika kalangan milenial tenggelam dalam asyiknya gadget, di mana golongan inilah yang masih memiliki kecenderungan untuk mencari jati diri serta eksistensi yang dapat dengan mudah dimasuki paham radikal dengan merebaknya konten-konten di media sosial.
Survei yang ditunjukkan oleh Wahid Institute pada tahun 2020 menunjukkan bahwa sikap intoleransi di Indonesia juga cenderung meningkat dari sebelumnya yakni sekitar 46% dan saat ini menjadi 54%.
Di era digital saat ini yang menjadi tantangan terbesar adalah bagaimana media sosial bisa dimanfaatkan sebagai medium untuk menyebarkan pemikiran-pemikiran moderat, bukan justru digunakan untuk menyebarkan pemikiran radikal.
Maraknya ustaz dengan pandangan yang ekstrem telah menjadi hal yang patut diwaspadai, ujaran hate speech serta provokasi seakan tiada henti menembus apapun yang ada di media sosial. Di tengah kondisi yang demikian, maka upaya untuk menggemakan moderasi beragama perlu untuk terus dilaksanakan.
Generasi milenial khususnya pelajar dan mahasiswa haruslah mampu memahami dan menghayati pilar-pilar kebangsaan yang terdiri dari Pancasila, Bhineka Tunggal Ika, UUD 45 dan NKRI bahwa bentuk negara Indonesia sudah final dan jangan mempertentangkannya dengan Al-Qur’an dan Hadits yang justru menimbulkan kerancuan berfikir.
Sebagai warga negara Indonesia, kita harus memahami bahwa NKRI tidak muncul hanya karena 1 golongan atau suku saja, tetapi karena adanya peran dari berbagai organisasi, suku dan agama.
Selain itu, generasi milenial juga perlu memiliki rasa toleransi yang tinggi. Sikap toleransi ditandai dengan kemampuan untuk menghormati, menghargai dan mampu bekerja sama. Dalam kerja-kerja sosial kemanusiaan, tentu saja kita boleh bekerja sama dengan siapapun, tanpa perlu memandang agama, ras dan suku seperti penggalangan bantuan bencana, kerja bakti bersih desa, kegiatan karang taruna dan sebagainya.
Secara tegas telah kita pahami bahwa semua agama tidak mengajarkan kekerasan, sehingga aksi kekerasan yang mengatasnamakan agama di NKRI adalah hal yang tidak dibenarkan. Oleh karena itu generasi milenilai harus paham bahwa paham radikal tidak akan mampu menyelesaikan permasalahan dengan baik. Sehingga moderasi agama sangat perlu digerakkan guna meredam penyebaran paham radikal yang kian masif.
)* Penulis adalah kontributor Pertiwi Institute
(AH/AA)