Jakarta, jurnalredaksi– Paham radikal makin menyebar terutama via media sosial, karena kelompok radikal sudah tahu bahwa di Medsos banyak pengaksesnya dan mereka mengincar generasi muda yang suka main Medsos. Masyarakat wajib mewaspadai penyebaran radikalisme via media sosial dan jangan sampai terseret arus pergaulan yang salah.
Masyarakat Indonesia menjadi pengguna internet 5 besar di seluruh dunia. Murahnya HP android dan kartu perdana yang didapatkan dengan mudah, membuat banyak yang mengakses berbagai situs via gadget, termasuk media sosial. Seakan-akan tidak gaul kalau tidak punya akun Instagram, Tiktok, Twitter, Facebook, dll.
Akan tetapi ada bahaya yang mengintai saat kemudahan akses media sosial membuat banyak WNI jadi tergila-gila, karena Medsos juga digunakan oleh orang jahat. Kelompok radikal sudah mulai merambah Medsos untuk menggaet kader-kader baru, karena mereka tahu bahwa generasi muda suka nongkrong di Instagram. Mereka tak lagi memakai cara-cara lama seperti seminar atau penyebaran buku radikal.
Kasubdit Kontra Ideologi Ditcegah Densus 88 AT Polri Kombes Pol Ponco Ardani menyatakan bahwa radikalisme sudah tersebar di media sosial. Bahkan sekarang Medsos sudah sangat terbuka. Dalam artian dalam Medsos terjadi liberalisme sehingga orang-orang yang ada tak hanya yang baik tetapi juga yang bermaksud buruk seperti kelompok radikal.
Masuknya kelompok radikal di media sosial menunjukkan bahwa mereka sudah mengikuti zaman, sehingga bisa merekrut lebih banyak kader baru dari generasi muda. Yang muda-muda memang mereka perlukan karena biasanya butuh pengakuan dan mencari jati diri, sehingga bisa dicuci otak lalu disetir untuk menuju jalan yang tidak benar alias radikalisme dan terorisme.
Jika generasi muda sudah diracuni oleh radikalisme yang didapatkan via media sosial maka amat berbahaya karena mereka adalah calon pemimpin bangsa. Jangan sampai masa depan Indonesia jadi hancur karena pemimpinnya sudah teracuni oleh paham radikal dan terorisme. Kita tentu tidak mau bernasib seperti Suriah dan Afghanistan, bukan?
Kombes Pol Ponco Ardani menambahkan, selain anak muda, kelompok radikal juga mengincar anak-anak di media sosial. Dalam artian, meski di facebook atau twitter aturannya pengguna berusia minimal 17 tahun ternyata bisa diakali dengan dituakan usianya. Sehingga banyak anak yang masih SMP bahkan SD yang suka main tiktok dan facebook.
Padahal aturan usia minimal ini diberlakukan karena jika sudah berusia 17 tahun dianggap dewasa dan logikanya sudah jalan. Akan tetapi ketika ada anak-anak yang memalsukan umur demi main tiktok (agar terlihat gaul) maka ada bahaya yang mengintai yakni jadi incaran kelompok radikal.
Kelompok radikal bisa mencitrakan diri dengan gambar dan video yang menarik tetapi ujung-ujungnya adalah perekrutan, pembaiatan, dan pencucian otak. Inilah yang harus kita waspadai karena anak-anak biasanya sudah memegang HP sendiri dan keasyikan menonton. Mereka tidak tahu sama sekali bahwa radikalisme itu berbahaya.
Untuk pencegahan maka orang tua harus aktif dan tidak boleh mengabaikan anak-anak yang main gadget. Pertama, jika mereka masih berusia di bawah 12 tahun, jangan dibelikan HP sendiri. Kedua, kalaupun sudah SMP dan punya HP bisa diam-diam dicek history-nya untuk tahu apa saja yang dilihat, dan jangan sampai malah menonton video jihad dan konten radikalisme lain.
Sedangkan yang ketiga, mereka harus diberi tahu bahaya radikalisme sejak dini, tentu dengan menyesuaikan gaya bahasa anak-anak dan pemahamannya pelan-pelan. Mereka akan tahu apa saja kelompok radikal, apa itu jihad, mengapa tidak boleh ada pengeboman, dll.
Maraknya radikalisme di media sosial membuat kita harus makin waspada karena kelompok radikal mengincar kaum milenial sampai anak-anak kecil. Sebagai orang tua harus menanamkan sejak dini apa saja bahaya radikalisme kepada sang buah hati, sehingga mereka bisa paham untuk tidak terpengaruh radikalisme di media sosial.
)* Penulis adalah kontributor Pertiwi Insitute
(MY/AA)