Jakarta, jurnalredaksi– Di era digital saat ini, radikalisme dan hoax masih menjadi musuh bersama. Masyarakat perlu mewaspadai dan bersinergi untuk bersama-sama menangkal penyebaran paham radikal maupun hoax yang mampu menciptakan disintegrasi bangsa.
Sejak media sosial dan berita di platform digital semakin mudah diakses oleh masyarakat, hoax atau berita bohong dan penyebaran paham radikal kerap menghiasi beranda layar gawai kita.
Asep Warian selaku Pakar Hukum yang juga dikenal sebagai Guru Besar Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Parahyangan mengatakan, maraknya ujaran kebencian dan informasi bohong di linimasa media sosial. Karena hal itu berpotensi meningkatkan radikalisme di Indonesia. Oleh karena itu, Asep meminta kepada Menkopolhukam Mahfud MD untuk dapat mengubah gaya pendekatan pemerintah dalam menyelesaikan persoalan ini.
Situasi ini juga sangat disayangkan, karena Mahfud harus bekerja lebih keras dalam menanggulangi maraknya persoalan radikalisme. Apalagi tingginya keberagaman yang dimiliki Indonesia juga menjadi titik rawan akan sulitnya mengendalikan gesekan konflik masyarakat di media sosial.
Lebih jauh, Asep khawatir jika tindakan radikal ini akan mencoba masuk ke dalam pusaran tataran politik formal parlementer dengan menunggangi hajatan Pemilu 2024. Karena bahaya jika radikalisme ini masuk ke dalam tataran politik formal, dipastikan akan menimbulkan kekacauan. Seperti terjadinya pembelahan masyarakat pada tahun politik di tahun 2024. Bila tidak dikendalikan berpotensi akan meruncing.
Radikalisme merupakan satu ajaran yang ingin mengganti dasar dan ideologi negara dengan cara melawan aturan, kemudian merusak cara berpikir generasi baru. Penganut paham radikal biasanya terkesan ekslusif dan tertutup dengan lingkungan sosialnya, mereka selalu menyuarakan bahwa Pancasila itu tidak sesuai syari’at, hormat kepada bendera merah putih juga tidak sesuai syari’at.
Dalam hal ini, kita perlu mengetahui bagaimana sejarah Islam masuk ke Indonesia. Tentu saja Islam masuk dengan cara yang damai. Bahkan melalui pendekatan perilaku sosial manusia dan kultur Sehingga tak jarang dakwah Islam dilakukan dengan metode pertunjukkan wayang. Sejatinya memang secara sosial kemanusiaan ketika Islam hadir di sebuah tempat tidak mengganti budaya orang.
Sementara itu, pengajar Kajian Strategis dan Global Universitas Indonesia (UI) Puspitasari menilai cepat tersebarnya paham radikal karena digunakan oleh pelaku kampanye instan. Para penganutnya menggunakan media sosial dan fitur-fitur di Internet sehingga penyebarannya menjadi masif dan luas.
Puspitasari menuturkan, Pancasila tergerus karena masifnya kampanye paham radikal tersebut. Ia menegaskan jika Pancasila berhadapan dengan kelompok radikal yang menggunakan propaganda, maka perlu juga memakai prinsip (kontra) propaganda. Aksi radikalisme yang mengatasnamakan agama biasanya tidak ada kaitannya sama sekali dengan agama. Melainkan ada kepentingan atau masalah lain di belakangnya.
Sementara itu Maraknya berita hoax di dunia maya memang sebuah masalah yang sangat pelik, kalangan anak – anak, emak emak bahkan akademisi juga tak lepas dari ancaman hoax yang tersebar tanpa ampun melalui aplikasi sosial media.
Akses media yang begitu cepat seakan berbanding lurus dengan kecepatan berita hoax yang menyebar hingga sampai kepada grup whatsApp Keluarga. Parahnya, berita yang sudah terkonfirmasi sebagai hoax pada tahun sebelumnya, terkadang masih disebarkan hanya bermodalkan menyalin link.
Dari sekian banyak hoaks, ternyata jenis berita hoax yang paling sering diterima oleh masyarakat adalah hoax tentang isu sosial – politik, menyusul diposisi kedua adalah berita hoax tentang SARA. Sebaran hoax yang overdosis ini memunculkan kekhawatiran di kalangan warganet. Kekhawatiran ini muncul karena hoax masih bisa menjadi senjata digital untuk mengancam kepanikan dalam negeri.
Sebaran hoax melalui sosial media seakan muncul tak terbendung, media sosial seperti Facebook, Twitter maupun Instagram merupakan kanal yang paling sering menjadi medium para warganet untuk menerima berita hoax. Selanjutnya aplikasi chatting juga sangat rentan terhadap berita hoax, terutama dalam grup whatsapp.
Ketika jemari melekat dengan gawai, seakan kita tidak memiliki imun terhadap hoax, sehingga penting bagi seluruh pengguna media sosial untuk menyaring informasi sebelum men-sharingnya ke jaringan media sosialnya.
Radikalisme dan Hoax merupakan dua hal yang membuat suasana menjadi gaduh, rasa persatuan juga runtuh hanya karena berita yang terlampau provokatif dan jauh dari kenyataan. Sudah saatnya kita mengatakan perang terhadap radikalisme dan Hoax yang secara nyata merusak kedamaian di berbagai negara.
)* Penulis adalah kontributor Pertiwi Institute
(AM/AA)