Jakarta, jurnalredaksi– Media sosial diyakini sebagai salah satu sarana kelompok radikal untuk menyebarkan pengaruhnya. Seluruh elemen masyarakat diharapkan terus bersinergi guna melawan narasi radikal di media sosial agar generasi muda dapat terhindar dari paham berbahaya tersebut.
Media sosial seperti facebook, twitter, instagram, dan tiktok menjadi magnet dan WNI banyak menggunakan sarana tersebut karena bisa bertemu teman lama sekaligus meraih popularitas. Rasanya tiada hari tanpa ngetweet atau posting foto di Instagram. Dengan bermedsos maka otak jadi rileks dan senang karena bisa bercanda dengan banyak teman di dunia maya.
Membuka akun facebook dan media sosial lain memang menyenangkan tetapi ada bahaya yang mengintai yakni pengaruh dari kelompok radikal. Saat ini mereka sudah mengikuti zaman dan masuk ke arena medsos untuk menyebarkan pengaruhnya. Caranya dengan membuat akun baru dan konten-kontennya dibuat semenarik mungkin. Setelah itu baru mereka mendekati secara personal.
Kita harus melawan narasi radikal di media sosial karena ia memaparkan hal yang salah. Jika kelompok radikal menginginkan negara khalifah maka tidak mungkin didirikan di Indonesia. Penyebabnya karena kondisi masyarakatnya yang majemuk dan berbeda dengan negara khalifah di gurun pasir.
Dania menyatakan bahwa narasi radikal di media sosial bisa dilawan dengan critical thinking. Wanita muda yang pernah terjebak oleh kelompok teroris ISIS ini menjelaskan, dengan berpikir kritis maka kita tidak akan mudah dibohongi oleh kelompok radikal.
Dalam artian, kemampuan critical thinking sangat diperlukan, apalagi ketika berseluncur di dunia maya. Jangan terlalu mudah percaya jika ada yang memberi janji surga tentang negara khalifah. Penyebabnya karena kenyataannya tidak seperti itu dan sistem ini ada kelemahannya. Ingatlah bahwa Indonesia adalah negara demokratis, sehingga tidak cocok jika diubah jadi negara khalifah.
Untuk melatih kemampuan berpikir kritis di media sosial maka pertama, gunakan logika dalam melihat suatu foto atau berita yang sedang viral. Lihatlah apakah itu benar atau hoax, dan kelompok radikal memang menggunakan hoax agar followersnya di medsos percaya padahal itu palsu. Misalnya ketika ada foto pembantaian, maka lihat dengan teliti lokasinya lalu cek di Google. Nanti akan terlihat bahwa sebenarnya itu foto lama atau malah hanya adegan film.
Kelompok radikal tahu bahwa.ada masyarakat yang terlalu mudah percaya hoax apalagi jika dibumbui narasi yang mengguncang emosi. Oleh karena itu saat ada berita yang dishare, jangan panik lalu ikut memviralkannya. Akan tetapi pikirkan apa itu benar?
Cara lain agar tidak terjebak radikalisme di media sosial adalah dengan mewaspadai akun-akun di IG atau medsos lain. Biasanya akun milik kelompok radikal selalu mempromosikan jihad sebagai ibadah terbaik yang diganjar surga. Padahal kenyataannya mereka berlindung di balik kata jihad dan melakukan kekerasan serta pengeboman, yang sudah jelas dilarang oleh agama.
Jihad yang sebenarnya adalah dengan mencari nafkah untuk keluarga dan menahan gejolak emosi di dalam dada. Salah besar jika jihad dikaitkan dengan bom pengantin, karena sama saja dengan bunuh diri dan itu adalah suatu dosa besar.
Narasi radikal di media sosial mulai marak apalagi setelah era reformasi kadang kita kebablasan dalam mengartikan kebebasan. Tidak boleh ada kebebasan yang terlalu bebas sampai harus mengikuti kata-kata dari kelompok radikal. Narasi mereka harus dihentikan dengan melapor ke polisi siber, sehingga tidak ada korban baru yang direkrut menjadi kader.
)* Penulis adalah mahasiswa Universitas Pakuan Bogor
(IR/AA)