Jakarta, jurnalredaksi– Buah merah merupakan tanaman favorit masyarakat Papua. Buah dengan nama ilmiah Pandanus conoideus dan termasuk famili Pandanaceae ini, merupakan tumbuhan endemik Papua yang tersebar hingga Papua New Guinea. Pohonnya dapat ditemukan dari dataran rendah hingga dataran tinggi.
Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Papua memperkirakan, lebih dari 30 kultivar pandan buah merah dapat dijumpai di Papua. Masing-masing wilayah, memiliki nama berbeda untuk tiap karakter buahnya. Misal, buah merah di Kecamatan Kelila, Wamena, Papua mempunyai nama lokal berbeda, merujuk pada perbedaan ukuran, warna buah, warna daun, dan rasa. Sehingga, ada namanya maler, ugi, oakelu, kenen, wona, kuambir, gepe, barugum, magari, werene, dan baga.
Meski demikian, secara garis besar, hanya empat kultivar yang banyak dikembangkan karena memiliki nilai ekonomis, yaitu kultivar merah panjang, merah pendek, cokelat, dan kuning.
Dijelaskan lagi, buah merah yang sudah masak dimanfaatkan sebagai pelengkap sayur dan juga unsur pelengkap dalam upacara adat bakar batu. Buah merah yang diekstraksi akan menghasilkan minyak yang digunakan untuk pewarna masakan dan bahan kerajinan. Bahkan, digunakan juga sebagai peningkat stamina, obat cacing, obat penyakit kulit, obat kanker, obat hipertensi, dan obat diabet melitus.
Namun ternyata, buah merah ini merupakan tanaman prasejarah Papua. “Papua terletak di khatulistiwa dengan hutan hujan tropis. Pada masa prasejarah, pembukaan lahan pertanian tidak mudah, hanya mengandalkan alat-alat batu,” kata Hari Suroto, peneliti arkeologi BRIN.
Menurut dia, berdasarkan analisis polen yang dilakukan oleh Haberle dari Australian National University pada 1991, terhadap sisa serbuk sari tanaman buah merah, yang ditemukan di Kalela, Lembah Baliem, diperkirakan pertanian awal di Papua berlangsung pada 6.000 tahun silam.
Hal ini menunjukkan, dataran tinggi New Guinea mengenal pertanian intensif dengan tanaman utama umbi-umbian yaitu keladi sejak 7.000 tahun lalu. Sementara, untuk wilayah Indonesia bagian barat, bukti pertanian intensif diketahui sejak penutur Austronesia datang sekitar 3.000 tahun lalu dengan mengenalkan tanaman biji-bijian yaitu padi.
“Buah merah sudah lama dikonsumsi masyarakat Suku Dani di Lembah Baliem, Kabupaten Jayawijaya, Papua. Buah merah dalam Bahasa Dani disebut kuansu,” ujar Hari.
Dia menambahkan, di kalangan Suku Amungme, dikenal beberapa versi asal usul mereka. Salah satunya, leluhur Suku Amungme muncul dari tanah, tempat mereka selalu berada. Kegelapan menjadi satu-satunya alasan mengapa orang mau meninggalkan lubang atau gua. Mulut gua tersebut bernama Mepingama, berada di sebelah pohon tua dekat Wamena, Lembah Baliem. Manusia keluar dari gua dengan membawa berbagai benih tanaman yang diperlukan untuk ditanam. Ada umbi-umbian berupa talas, pisang, dan buah merah. “Ada pula kapak batu dan alat pembuat api. Semua itu menjadi bekal untuk bertahan hidup.”
Pohon-pohon yang begitu besar dan seringnya hujan turun, membuat pembukaan lahan dengan pembakaran sulit dilakukan. Sehingga pada masa prasejarah, penduduk Papua di dataran rendah mengembangkan sistem pertanian yang efisien. Tidak perlu keluar banyak tenaga hanya untuk menebang pohon besar dengan alat batu.
“Mereka lebih mengandalkan penanaman umbi-umbian yang tumbuh merambat dan tidak membutuhkan banyak sinar matahari.”
(CA/AA)