Jakarta, jurnalredaksi– Radikalisme masih menjadi ancaman bersama yang patut untuk diwaspadai. Oleh sebab itu, diperlukan penguatan nilai-nilai Pancasila untuk membendung paham terlarang tersebut, termasuk di dunia pendidikan.
Kelompok radikal ingin sekali bercokol terus-menerus di Indonesia. Mereka menyasar ke semua kalangan, mulai dari orang dewasa hingga mahasiswa. Tujuannya agar kaderisasi makin meluas dan makin banyak yang mendukung mereka.
Sedih sekali ketika kampus ‘diserang’ oleh kelompok radikal, karena mahasiswa adalah calon pemimpin bangsa. Jika mayoritas mahasiswa sudah radikal sejak semester awal maka ketika sudah jadi sarjana mereka akan makin radikal. Saat jadi pejabat atau memegang tanggungjawab penting di instansi, maka mereka akan menyebarkan radikalisme.
Atas alasan tersebut radikalisme selalu diberantas di lingkungan kampus. Universitas Indonesia berusaha membentengi mahasiswa (dan dosen) dari bahaya radikalisme dengan penguatan nilai-nilai Pancasila. Caranya dengan pengajaran mata kuliah agama, yang akan ditambahkan dengan pengetahuan Pancasila.
Pancasila dan agama tidak bersebrangan karena saling terikat. Seseorang yang beragama akan selalu mengimplementasikan Pancasila karena taat kepada Tuhannya dan bertindak adil kepada sesama manusia, termasuk yang berbeda akidah.
Cara lain untuk memberantas radikalisme adalah pembangunan rumah ibadah di lingkungan UI, tidak hanya satu tetapi sampai lima keyakinan yang diakui oleh pemerintah. Dengan cara ini maka para mahasiswa akan memiliki rasa toleransi yang tinggi, karena terbiasa melihat kawan-kawannya yang memiliki keyakinan lain masuk dan beribadah di tempat tersebut.
Rasa toleransi memang menjadi kunci untuk memberantas radikalisme. Penyebabnya karena jika mahasiswa sudah memiliki radikalisme, maka ia akan menghormati satu sama lain. Tak hanya kepada kawan sekelas yang memiliki keyakinan yang sama, tetapi juga kepada yang lain yang punya keyakinan berbeda.
Perbedaan ini bukanlah halangan untuk bersatu, karena memang sebelum era kemerdekaan, sudah ada berbagai perbedaan. Akan tetapi, toh kita tetap merdeka juga dan jadi bersatu di atas perbedaan tersebut, dan tidak pernah mempermasalahkannya.
Jika mahasiswa menyadari bahwa perbedaan itu indah maka mereka tidak akan mudah untuk terkena radikalisme (baik dari kampus maupun luar). Penyebabnya karena kelompok radikal terlalu ekstrim dengan hanya meyakini satu hal dan menyalahkan semua pihak yang berbeda dengannya. Hal ini tentu tidak bisa dibiarkan karena mereka selalu bertindak intoleran.
Para mahasiswa memang harus dijauhkan dari radikalisme, karena merekalah calon pemimpin bangsa. Jika mereka anti radikalisme dan menyadari bahwa perbedaan itu indah, maka kelak jika jadi pejabat negara, akan bertindak arif. Mereka tidak mudah menghakimi, tetapi memahami bahwa di Indonesia ada pluralisme.
Selain mahasiswa, maka dosen juga perlu dijauhkan dari radikalisme. Jangan sampai mereka ternyata jadi anggota kelompok radikal lalu menyebarkan radikalisme ke para mahasiswa. Akan jadi kacau-balau karena akan menyebar, bagai virus yang berbahaya. Dosen juga wajib ingat bahwa mereka tidak boleh terkena radikalisme, karena akan terancam pemecatan dari pihak kampus (apalagi jika berstatus ASN).
Penguatan nilai Pancasila di kawasan kampus memang perlu dilakukan untuk menghalau radikalisme. Penyebabnya karena jika semua mahasiswa dan dosen mengimplementasikan Pancasila, maka mereka akan menyadari bahwa Indonesia terdiri dari banyak suku dan ada enam keyakinan yang diakui oleh pemerintah.
Penguatan nilai-nilai Pancasila menjadi benteng untuk melindungi agar jangan sampai radikalisme menyebar di kampus. Mata kuliah Pancasila perlu diberikan agar semuanya mengimplementasikan Pancasila. Baik mahasiswa maupun dosen, dilarang keras untuk terkena radikalisme, karena paham ini berbahaya bagi persatuan bangsa.
)* Penulis adalah kontributor Pertiwi Institute
(AF/AA)