Jakarta, jurnalredaksi– Paham radikal telah terbukti menghasilkan keruhnya harmonisasi hubungan antar masyarakat. Oleh sebab itu, diperlukan penguatan moderasi beragama untuk mencegah radikalisme di masyarakat sekaligus menjaga keutuhan Indonesia.
Sikap moderat dan moderasi bisa diartikan merupakan suatu sikap dewasa yang baik dan sangat diperlukan. Radikalisasi dan radikalisme, kekerasan dan kejahatan, termasuk ujaran kebencian/caci maki dan hoaks, terutama atas nama agama adalah sikap kekanak-kanakan, jahat, memecah belah, merusak kehidupan patologis, tidak baik dan tidak perlu.
Moderasi beragama sendiri merupakan upaya kreatif untuk mengembangkan suatu sikap keberagaman di tengah pelbagai desakan ketegangan (constrains) seperti antara klaim kebenaran absolut dan subjektivitas, antara interpretasi literal dan penolakan yang arogan atas ajaran agama, juga antara radikalisme dan sekularisme.
Ma’ruf Amin selaku Wakil Presiden (Wapres) menyampaikan bahwa perdamaian dan kerukunan merupakan unsur utama terciptanya persatuan nasional. Menurutnya, persatuan nasional merupakan prasyarat bagi keberhasilan pembangunan nasional dalam rangka mewujudkan Indonesia yang adil, maju dan sejahtera sebagaimana yang kita cita-citakan.
Dalam kesempatan video conference, Ma’ruf Amin mengatakan bahwa perdamaian dan kerukunan tersebut harus terus dirawat dan dilestarikan, salah satunya yaitu dengan menggemakan nilai-nilai moderasi dalam beragama sesuai dengan prinsip wasathiyah.
Ma’ruf melanjutkan umat Islam di Indonesia dapat hidup berdampingan dalam perdamaian dan kerukunan bersama pemeluk agama lain karena Islam di Indonesia datang dan berkembang dengan cara yang damai atau dengan prinsip jalan tengah.
Bahkan prinsip tersebut berhasil terwujud salah satunya berkat peran dari para ulama sebagai pewaris para nabi dan obor keteladanan bagi umat.
Dirinya juga optimis, apabila ulama Indonesia bersatu padu dalam merawat dan meningkatkan moderasi Islam, tentu saja Islam Wasathiyah di Indonesia akan menjadi poros pancaran harapan bagi lahirnya dunia yang damai sebagai awal menuju dunia yang sejahtera.
Kendati demikian, Ma’ruf mengatakan, Ulama tidak dapat berjuang sendiri dalam mewujudkan perdamaian melalui Islam Wasathiyah. Peran keluarga, guru, masyarakat luas sangat penting dalam upaya kolaboratif mencegah masuk dan menyebar paham radikal-teroris.
Hal ini sebagaimana tertuang dalam Peraturan Presiden Nomor 7 Tahun 2021 tentang Rencana Aksi Nasional Pencegahan dan Penanggulangan Ekstremisme Berbasis Kekerasan yang mengarah pada Terorisme tahun 2020-2024.
Menurut Ma’ruf, Peraturan Presiden tersebut bisa menjadi acuan bersama untuk memperkuat kolaborasi antara kementerian/lembaga, pemerintah daerah, para ulama maupun ormas Islam, termasuk BPET-MUI, untuk mencegah dan menanggulangi paham radikal-terorisme.
Selain kolaborasi sejumlah pihak, Wapres juga mengingatkan agar cara-cara penyiaran dakwah masing-masing agama, menggunakan narasi-narasi kerukunan yang sejuk dan damai, bukan narasi konflik yang mengakibatkan terjadinya kebencian dan permusuhan antar pemeluk agama.
Zainut Tauhid Sa’adi selaku Wakil Menteri Agama (Wamenag) mengatakan, moderasi beragama memastikan sesama umat beragama untuk dapat membuka ruang untuk saling menghargai perbedaan. Moderasi beragama memastikan agar masyarakat bisa membuka ruang untuk saling menghargai. Kita meyakini agama kita yang benar dan memberikan hak keyakinan kepada mereka yang berbeda agama.
Moderasi beragama merupakan salah satu program prioritas kementerian Agama yang sudah dicanangkan Menteri Agama (Menag) Yaqut Cholil Qoumas. Hal tersebut wajib diikuti oleh segenap ASN di Kemenag.
Lebih lanjut, ia mengatakan bahwa program ini menjadi persoalan penting yang harus dipahami bersama. Sebab, masih banyak yang belum memahami makna moderasi beragama. Karena yang dimoderatkan itu bukan agamanya, melainkan cara beragama dan memahami agama itu sendiri.
Perbedaan merupakan sunatullah dan pemberian Tuhan. Ia meminta agar jangan sampai manusia seolah-olah menjadi panitia surga, dengan menyalahkan orang yang berbeda keyakinan, apalagi sampai menyematkan label kafir kepada mereka yang tidak seiman atau berbeda keyakinan.
Wamenag juga menambahkan bahwa Indonesia bukanlah negara agama dan bukan negara sekuler. Namun, tanpa Moderasi Beragama Indonesia akan tercerai berai. Bagi Indonesia, keragaman telah diyakini sebagai kehendak yang Maha Kuasa. Rakyat Indonesia tidak pernah meminta keragaman, sehingga bisa diartikan Tuhan-lah yang mencipkatan Keragaman dan hal ini tentu saja tidak bisa ditawar.
Dengan kenyataan beragamnya masyarakat Indonesia tersebut, bisa kita bayangkan betapa beragamnya pandangan, keyakinan dan kepentingan masing-masing warga bangsa termasuk dalam beragama. Sehingga penting agar Moderasi Beragama terus digalakkan.
)* Penulis adalah kontributor Pertiwi Institute
(AK/AA)