Jakarta, jurnalredaksi– Sidang Inter-Parliamentary Union (IPU) ke 144 akan dilaksanakan di Nusa Dua, Bali pada Maret 2022. Event besar ini banyak dinantikan masyarakat karena menjadi momentum strategis bagi parlemen Indonesia untuk mewujudkan berbagai kepentingan nasionalnya.
Dalam memperjuangkan kepentingan nasional Indonesia di forum internasional, Ketua DPR RI Puan mengatakan DPR melalui fungsi diplomasi parlemen, telah melakukan beberapa pertemuan kerja sama antarparlemen. Di antaranya ada dengan delegasi dari negara Ukraina, slovakia dan Spanyol
Dalam pergelaran IPU tersebut, perubahan iklim rupanya menjadi isu utama untuk dibahas, karena masalah perubahan iklim saat ini menjadi ancaman nyata bagi planet bumi. Dalam konteks tersebut, Badan Kerja Sama Antar Parlemen (BKSAP) DPR RI menekankan pentingnya penguatan fungsi parlemen dalam membangun kolaborasi diplomasi parlemen. Sebab, parlemen memainkan vital untuk mengawali kebijakan-kebijakan pemerintah demi tercapainya Net Zero Carbon Emissions.
Wakil Ketua BKSAP DPR RI Sihar P.H Sitorus menegaskan bahwa isu perubahan iklim harus menjadi salah satu prioritas program pembangunan pemerintah. Parlemen Dunia dan Indonesia memiliki kesamaan pandangan untuk menyelamatkan planet bumi dari ancaman perubahan iklim (climate change) dan pemanasan global. Oleh sebab itu, gelaran IPU di Nusa Dua diharapkan menjadi arena bagi setiap negara untuk dapat berdiplomasi berkaitan dengan penanganan permasalahan global.
Setiap negara di dunia sudah harus mulai mengubah orientasi pembangunannya ke arah ekonomi biru guna mencapai tujuan pembangunan yang berkelanjutan (Sustainable Development Goals/SDGs)
Poin strategis itu lahir dalam pertemuan parlemen dunia yang bertajuk ‘Turning the Challenges of the Covid-19 Pandemic into Opportunities for Parliaments to Achieve the SDGs. Fadli Zon selaku Ketua Badan Kerjasama Antar Parlemen (BKSAP) DPR RI Fadli Zon menggaungkan bahwa dampak perubahan iklim tidak akan terkendali apabila tidak ada aksi global secara konkret. Fadli menilai, dalam konteks ini parlemen memainkan peran strategis untuk mendorong agar kebijakan pemerintah secara langsung mampu menjawab SDGs.
Dirinya menjelaskan, “Parlemen sebagai lembaga representatif harus mengambil tanggung jawab untuk menangani perubahan iklim dan pemanasan global dengan mengintegrasikan isu tersebut ke dalam rumusan kebijakan, penganggaran dan pengawasan, sehingga relevan dengan target-target global yang ditetapkan dalam Paris Agreement dan Sustainable Development Goals,” Ujar Fadli.
Dalam konteks Indonesia, Fadli menungkapkan bahwa DPR RI saat ini sedang mendorong regulasi energi terbarukan sebagai langkah konkret menuju transisi energi dan menekan emisi karbon sekaligus sebagai upaya mitigasi dampak perubahan iklim.
Dalam paparannya Fadli menjelaskan “DPR RI akan mempercepat proses perumusan Rancangan Undang-Undang Energi Baru Terbarukan (RUU EBT). Rancangan tersebut akan menciptakan kebijakan yang suportif terhadap penggunaan energi hijau, penyediaan insentif bagi bisnis di sektor energi terbarukan, peningkatan kapasitas SDM di bidang energi terbarukan, penetapan harga yang kompetitif.”
“Melalui trobosan ini, energi terbarukan akan menjadi daya tarik bagi investor sekaligus pengembangan industri hijau,” tambahnya.
Hal senada juga disampaikan oleh sejumlah pembicara, di antaranya Maisa Rojas (Director of the Center for Climate and Resilience Research Chile and Lead Author of 5th Assesment Report of the Intergovermental Panel on Climate Change/IPCC).
Selanjutnya, Andrew Raine (Head of International Environmental Law Unit, United Nations Environment Programme), dan Paola Albrito (Chief of Branch for the Intergovermental Processes, Intergency Cooperation and Partnership United Nations Office for Disaster Risk Reduction/UNDRR).
Pertemuan ini menghasilkan kesimpulan strategis. Pertama, perubahan iklim harus menjadi consent bersama dan transisi energi merupakan pilihan rasional dalam upaya menangani dampak perubahan iklim tersebut. Transisi menuju ekonomi hijau tentu saja diharapkan dapat memberikan dampak positif bagi pertumbuhan ekonomi dan penyerapan tenaga kerja.
Kedua, Kebijakan perubahan iklim haruslah sinergis dengan upaya pemulihan Covid-19 yang masih berstatus pandemi, dan hal tersebut harus mewujud melalui berbagai program seperti perlindungan sosial, pendidikan vokasi dan investasi pada program yang melibatkan masyarakat.
Isu pemanasan global tentu saja tidak bisa ditangani sendiri, diperlukan koordinasi serta diplomasi dengan negara lain karena masalah ini membutuhkan solusi konkret yang bisa dilaksanakan di berbagai negara. Selain itu, IPU juga menjadi wahana diplomasi untuk mewujudkan berbagai kepentingan nasional Indonesia, termasuk penanganan Covid-19 maupun kemudahan dalam berinvestasi.
)* Penulis adalah Pemerhati Hubungan Internasional
(RD/AA)