Oleh: Gina Dewi )*
Pemerintah semakin intensif mengambil langkah preventif dalam mencegah meningkatnya pekerja migran Indonesia (PMI) ilegal yang bekerja sebagai operator judi daring atau judi online di luar negeri, khususnya di Kamboja. Fenomena ini menjadi ancaman serius karena tidak hanya merusak citra Indonesia di mata internasional, tetapi juga menimbulkan risiko kemanusiaan yang besar bagi para pekerja migran.
Data terkini menunjukkan bahwa lebih dari 80.000 WNI berada di Kamboja secara ilegal, dan mayoritas di antaranya bekerja di sektor yang di Indonesia tergolong melanggar hukum, seperti judi daring, penipuan digital, serta eksploitasi berbasis teknologi.
Menteri Pelindungan Pekerja Migran Indonesia, Abdul Kadir Karding, menegaskan bahwa semua PMI yang berada di Kamboja tidak memiliki dasar hukum karena Indonesia belum menjalin perjanjian kerja sama penempatan tenaga kerja dengan negara tersebut. Para pekerja ini sebagian besar diberangkatkan melalui calo atau sindikat yang menggunakan jalur tidak resmi, sehingga menjadikan mereka rentan terhadap perdagangan manusia, kekerasan, dan perbudakan modern.
Abdul menyebutkan bahwa Kamboja dan Myanmar kini menjadi tujuan baru bagi kalangan muda Indonesia yang nekat merantau tanpa dokumen resmi. Umumnya mereka tergoda oleh tawaran pekerjaan fiktif di media sosial yang menjanjikan gaji tinggi, lingkungan kerja nyaman, dan kemudahan proses perekrutan.
Sayangnya, tawaran-tawaran tersebut seringkali hanya kedok dari praktik sindikat internasional yang menjebak pekerja migran dalam aktivitas ilegal. Maraknya penempatan ilegal ini menjadi perhatian utama pemerintah karena banyak dari para PMI tersebut yang berakhir menjadi pelaku atau korban penipuan daring, operator judi online, hingga bagian dari jaringan kriminal internasional. Sebuah ironi yang menyedihkan, mengingat sektor ini jelas dilarang dan dikriminalisasi di Indonesia.
Pemerintah menilai bahwa penyebaran informasi palsu melalui media sosial dan platform digital menjadi salah satu pemicu utama tren ini. Banyak anak muda, yang sebenarnya memiliki pendidikan cukup baik, tergoda oleh janji manis dan tidak menyadari prosedur resmi migrasi tenaga kerja yang sah. Bahkan, sebagian besar dari mereka rela berutang kepada rentenir atau menjual aset keluarga demi membayar agen perekrutan ilegal, berharap akan mendapatkan kehidupan yang lebih baik. Padahal, di negara tujuan, mereka justru dihadapkan pada lingkungan kerja yang tidak manusiawi, tekanan mental, dan ketidakpastian hukum.
Menanggapi kondisi ini, pemerintah daerah turut bergerak cepat. Gubernur Jawa Tengah Ahmad Luthfi menggagas strategi jemput bola dalam mengatasi persoalan penempatan PMI ilegal. Melalui pelibatan aktif perangkat desa, upaya perekrutan tenaga kerja dapat dipantau sejak awal. Pendekatan ini menjadi langkah progresif, di mana pengawasan tidak lagi menunggu laporan atau insiden, tetapi dilakukan secara aktif dari bawah. Pemerintah desa diberdayakan untuk mengenali potensi risiko warganya, melakukan edukasi langsung kepada keluarga, serta menyaring informasi yang beredar melalui media sosial.
Selain penguatan pengawasan dari akar rumput, pendekatan kelembagaan juga diperkuat. Wakil Menteri Perlindungan Pekerja Migran Indonesia, Christina Aryani, menyampaikan pentingnya peran Asosiasi Perusahaan Jasa Tenaga Kerja Indonesia (APJATI) dalam mendukung skema penempatan yang legal, aman, dan produktif.
Kementeriannya, kata Christina, tengah dalam proses transformasi kelembagaan untuk lebih berfokus sebagai regulator, sementara pelaksanaan teknis penempatan diharapkan dijalankan oleh perusahaan yang telah mengantongi izin resmi. Ia menekankan bahwa perusahaan penempatan tenaga kerja harus menjadi mitra pemerintah yang aktif dalam perlindungan PMI, bukan sekadar operator bisnis semata.
Christina juga menyoroti pentingnya peningkatan kompetensi para calon PMI. Menurutnya, perlindungan bukan hanya soal hukum atau administratif, tetapi juga harus menyentuh kesiapan personal, sosial, dan psikologis para pekerja. Oleh karena itu, pelatihan dan pembekalan calon PMI mencakup penguasaan keterampilan teknis, bahasa asing, pengetahuan hukum negara tujuan, serta pemahaman budaya kerja di luar negeri. Langkah ini diyakini mampu mengurangi potensi mereka terseret ke dalam aktivitas ilegal, karena calon pekerja telah memahami risiko dan memiliki bekal yang cukup untuk menolak tawaran-tawaran mencurigakan.
Edukasi masyarakat pun menjadi prioritas yang tidak dapat ditawar. Pemerintah menilai bahwa kesadaran publik terhadap bahaya penempatan ilegal harus ditanamkan sejak dini. Kampanye masif dilakukan melalui media, sekolah, dan pusat pelatihan kerja. Sosialisasi dilakukan dengan pendekatan emosional, memperlihatkan realita di balik tawaran kerja yang semu.
Pemerintah juga memperkuat kerja sama internasional untuk mengatasi masalah ini dari sisi diplomatik. Salah satu inisiatif yang sedang dijajaki adalah pembentukan forum bilateral dengan Kamboja dan negara-negara Asia Tenggara lainnya, guna menyusun mekanisme kerja sama yang transparan, berkeadilan, dan melindungi hak-hak pekerja migran. Indonesia menginginkan standar internasional yang diterapkan secara tegas, agar praktik-praktik eksploitasi lintas negara dapat diberantas bersama.
Dalam jangka panjang, pemerintah menyiapkan kebijakan yang berorientasi pada penguatan daya saing tenaga kerja nasional di pasar global. Hal ini dilakukan dengan mengembangkan pendidikan vokasi, menstandarkan kompetensi melalui sertifikasi nasional, serta membuka lebih banyak akses terhadap pelatihan berbasis digital. Dengan strategi ini, Indonesia tidak hanya mencegah migrasi ilegal, tetapi juga menciptakan tenaga kerja yang mampu bersaing di sektor formal dan mendapatkan perlindungan penuh sesuai hukum internasional.
Ketegasan ini menandakan bahwa pemerintah sangat serius dalam menjaga warganya dari jebakan pekerjaan ilegal di luar negeri, terutama di sektor judi daring yang merusak martabat dan keselamatan PMI.
)* Pemerhati Kebijakan Publik