Jakarta, jurnalredaksi– Seiring dengan meningkatnya interaksi masyarakat internasional, perpindahan penduduk dari satu negara ke negara lainnya pun menjadi semakin masif. Migrasi penduduk secara internasional sebenarnya disebabkan oleh beberapa faktor, seperti peningkatan jumlah penduduk di suatu negara yang mengalami ketimpangan, atau bahkan karena revolusi industri yang menyebabkan tingkat penyebaran akan mengarah pada wilayah dengan kondisi ekonomi dan lapangan kerja yang lebih menjanjikan.
Namun, pada kenyataannya, aktivitas migrasi tidak selalu berjalan lancar sesuai dengan tujuan para migran. Akibat dari migrasi internasional tersebut, maka muncul dampak negatif lain yang menjadi konsekuensi, salah satunya adalah perdagangan manusia (human trafficking). Perdagangan manusia merupakan pelanggaran HAM multidimensi yang berpusat pada tindakan eksploitasi.
Sebagai upaya dalam mencegah dan memberantas trafficking, lembaga-lembaga berwenang harus dapat membuat komitmen bersama, dan kebijakan counter trafficking agar dapat mengatasi masalah tersebut.
IPU sebagai forum demokrasi terbesar kedua setelah Perserikatan Bangsa – Bangsa memiliki peran penting untuk dapat berkontribusi dalam menyelesaikan masalah migrasi dan perdagangan manusia. Dalam forum yang bertajuk ‘Parlimentary Impetus to Local and Regional Development of Countries with High Levels of International Migration and to Stopping All Forms of Human Trafficking and Human Rights Abuses’, parlemen dunia membicarakan tentang penyelesaian masalah aktivitas migrasi internasional dan perdagangan manusia.
Meski telah dibicarakan secara formal dalam forum tersebut, tetap menjadi suatu pencapaian yang maju ketika komitmen beserta langkah nyata penyelesaian masalah migrasi internasional dan perdagangan dimasukan dalam resolusi IPU yang disepakati oleh peserta IPU ke – 144. Isi resolusi tentang penyelesaian masalah tersebut menjadi penting agar parlemen dunia dapat mempedomani serta menjalankan dengan kebijakan – kebijakan yang mengatasi masalah migrasi internasional dan perdagangan manusia.
Sementara itu, menyikapi isu global mengenai peningkatan migrasi internasional dan perdagangan manusia di sejumlah negara, sudah sepatutnya Indonesia memegang prinsip menjalankan politik bebas aktif untuk menyelesaikan masalah tersebut. Apalagi ditengah kompleksitas masalah itu dalam beberapa dekade ini.
Masalah migrasi internasional dan perdagangan manusia tentunya tidak bisa terlepas dari Hak Asasi Manusia karena banyak orang yang menjadi korban akibat hal tersebut.
Sementara itu, untuk Indonesia juga menghadapi isu perdagangan manusia, dimana perempuan , anak – anak, dan kelompok yang lemah jadi korban eksploitasi. Komnas Perempuan telah mencatat sebanyak 816 perdagangan manusia dan 699 kasus perempuan migran melalui catatan tahunan sepanjang 2017 – 2020.
Indonesia sendiri telah memiliki payung hukum untuk mengatasi masalah tersebut. Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang (selanjutnya disebut UU PTPPO dikeluarkan sebagai upaya pemerintah untuk mengantisipasi maraknya perdagangan orang (human trafficking).
Sementara, Jalur trafficking di Asia Tenggara melibatkan enam negara, yaitu Indonesia, Malaysia, Singapura, Thailand, Vietnam, dan Filipina. Empat dari enam negara tersebut, yakni Indonesia, Thailand, Filipina, dan Vietnam merupakan negara asal dari korban perdagangan orang, adapun Malaysia hanya sebagian kecil. Alur penyebaran tujuan perdagangan orang meliputi Indonesia, Malaysia, Singapura, Filipina, dan Thailand.
Hadirnya UU PTPPO dilandasi pemikiran bahwa: (1) perdagangan orang merupakan tindakan yang bertentangan dengan harkat dan martabat manusia, serta melanggar hak asasi manusia; (2) bahwa perdagangan orang telah meluas dalam bentuk jaringan yang terorganisasi maupun tidak, sehingga menjadi ancaman terhadap masyarakat, bangsa, dan negara maupun luar negeri; dan (3) bahwa keinginan untuk mencegah dan menanggulangi tindak pidana perdagangan orang didasarkan pada nilai-nilai luhur, komitmen nasional dan internasional untuk melakukan upaya pencegahan sejak dini, penindakan terhadap pelaku, perlindungan korban, dan peningkatan kerja sama.
Sebelum UU PTPPO lahir, didahului oleh kebijakan pemerintah berupa ketentuan peraturan perundang-undangan yang terkait dengan persoalan perdagangan perempuan dan anak, seperti termaktub dalam KUHP dan Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia. Pada tanggal 30 Desember 2002, keluar Keppres Nomor 88 Tahun 2002 tentang Rencana Aksi Nasional Penghapusan Perdagangan (Trafficking) Perempuan dan Anak (RAN-P3A). Untuk menjamin implementasi RAN-P3A, pemerintah membentuk Gugus Tugas Nasional. Kemudian pada tahun 2007, ditetapkan Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang.
Disisi lain, PBB telah membentuk sebuah kerangka hukum internasional untuk menangani dan memenuhi hak dari para korban trafficking yaitu United Nations Trafficking Protocol atau dikenal sebagai Protokol Palermo. Di tingkat regional, negara anggota ASEAN telah menyepakati Konferensi Kepolisian ASEAN (ASEANAPOL). Aturan – aturan hukum tersebut sebagai langkah nyata untuk mengatasi kejahatan lintas batas negara termasuk perdagangan manusia.
Dengan bercermin dari sejumlah aturan yang telah dibuat untuk mengatasi masalah migrasi dan perdagangan manusia, maka IPU sudah seharusnya bukan hanya memiliki komitmen bersama saja namun bagaimana implementasinya secara kongkrit dapat turut berkontribusi mengatasi permasalah itu. IPU harus bisa memasukan problem solving terkait isu migrasi internasional dan perdagangan manusia kedalam resolusi IPU ke -144 yang semakin menjadi ancaman besar bagi negara – negara di dunia. Indonesia sebagai penyelenggara IPU dapat menjadi sponsor utama agar penyelesaian isu migrasi internasional dan perdagangan manusi masuk dalam resolusi IPU ke – 144 di Bali.
)* Penulis adalah Dewan Pengarah Jaringan Nasional Jurnalis Anti Hoax